Gua ‘Kota Ni Langge’ Saksi Sejarah Kuliner yang Mengubah Nasib Peradaban Manusia

CENDANANEWS, Terletak di desa Sawapudo kecamatan Soropia kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara, kawasan berbukit-bukit berhadapan langsung ke hamparan laut Banda ini menyimpan misteri terpendam selama ribuan tahun atau bahkan lebih. Menurut Kepala Desa Sawapudo sewaktu tim ekspedisi Cendananews bersama mahasiswa Sejarah dan Arkeologi Universitas Haluoleo Kendari mengunjungi kediamannya bahwa kawasan situs purbakala ‘Kota Ni Langge’ oleh penduduk setempat dianggap keramat sehingga hanya beberapa gelintir orang saja berani menyentuh situs purbakala itu. Walaupun demikian situs yang masih luput dari perhatian ahli sejarah maupun pemerintah setempat ini justeru tak luput dari tangan-tangan jahil yang telah menjarah sebagian bukti peninggalan nenek moyang itu.
Gua kapur berdinding terjal dengan ketinggian lebih kurang 40 meter ini kerap dikunjungi para penggemar panjat tebing karena selain gampang dijangkau hanya berjarak 30 km dari kota Kendari tebing tersebut  memiliki pemandangan indah menghadap ke lautan. Dengan seringnya dikunjungi kawasan purbakala ini tentu menjadi rentan bila tidak dilakukan upaya pelestarian oleh pemerintah setempat.
Pada saat pendokumentasian yang dilakukan tim Ekspedisi Situs Sejarah dan Purbakala pada Minggu 15 Februari 2015 kemaren, tim mencatat beberapa penemuan penting didalam gua antara lain tulang hasta dan tulang rahang manusia, pecahan gerabah, kulit kerang-kerangan dan alat kapak genggam yang terbuat dari batu. Berdasarkan alat bukti tersebut gua ‘Kota Ni Langge’ memiliki kemiripan dengan Gua Wiwirano yang berjarak 200 km dari tempat ini. Gua Wiwirano sendiri pernah diteliti oleh Balai Kajian Arkeologi Makassar dengan melakukan pengukuran atom Karbon 14 (C-14) di Miami University sehingga didapat kesimpulan usia gua Wiwirano berkisar 7000 tahun.
Hal yang menarik dalam pembahasan ini adalah ditemukannya sisa-sisa kulit kerang-kerangan (kerang, siput laut, keong laut) yang diduga sebagai bahan makanan menjadi hal umum pada penemuan-penemuan bekas tempat tinggal para manusia gua. Cara hidup manusia gua dengan mengkonsumsi makanan bebasis seafood menurut para ahli kuliner purba mempengaruhi nasib evolusi peradaban manusia. Bagaimana tidak, unsur terpenting didalam makanan/kuliner berbasis makanan laut adalah ‘yodium’. Yodium dibutuhkan untuk mensintesis hormon tiroid yang berperan dalam perkembangan otak pada masa janin dan awal pertumbuhan. Hal yang tak kalah penting dari kandungan yodium pada panganan seafood adalah peran asam lemak Omega-3 atau yang dikenal dengan eicosapentaenoic acid/EPA plus docosahexaenoic acid/DHA. Istilah asam lemak omega-3, EPA dan DHA sebenarnya tidak asing lagi khususnya bagi ibu-ibu yang masih memiliki anak balita, sebab salah satu alasan memilih jenis susu formula untuk balita adalah adanya kandungan unsur tersebut yang berfungsi sebagai perkembangan otak anak.
Berdasarkan hipotesis ini peradaban manusia modern dengan segala terobosan kebudayaannya tak terlepas dari perilaku kuliner para nenek moyang kita terdahulu. Bilamana merujuk pada polemik ahli-ahli kuliner kuno mengenai evolusi perkembangan volume otak manusia disebabkan pada pola konsumsi dari daging mentah menjadi daging dimasak yang berdampak pada perubahan volume otak sebenarnya masih sarat dengan perdebatan.
Pendapat mengenai peran seafood/makanan laut dalam proses evolusi kecerdasan manusia modern diperkuat dengan kecenderungan pola migrasi manusia selama ribuan tahun ke arah pesisir pantai. Sulawesi sendiri sebagai pulau dengan garis pantai terpanjang didunia oleh sebagian ahli paleontologi berkeyakinan memiliki peranan penting bagi perkembangan kebudayaan manusia dunia. Hal ini diperkuat dengan penemuan lukisan gua tertua didunia dalam kategori figuratif/bentuk di gua Leang-leang Maros Sulawesi Selatan. Bahkan masih ada ratusan (mungkin ribuan) lukisan gua lain di berbagai kawasan Sulawesi Tenggara yang masih belum dilakukan penelitian mendalam.
Sayangnya keberadaan dan kelestarian situs-situs bersejarah/purbakala ini kian terancam oleh ambisi pembangunan tanpa berwawasan kebudayaan sebagaimana yang terjadi dengan kota lama Kendari. Oleh karena itu peran penting para ahli sejarah dan kelompok masyarakat yang peduli sangat dibutuhkan agar bisa mendorong pemerintah setempat melakukan tindakan yang diperlukan untuk melindungi situs-situs bersejarah tersebut.
——————————–
Senin, 16 Februari 2015
Penulis : Gani Khair
Editor : Sari Puspita Ayu
——————————-
Lihat juga...