Di Kampung ini Banyak Warga Tekuni Usaha Batu Bata

Proses Penjemuran Batu Bata Sebelum di Bakar [Foto:CND]

CENDANANEWS (Lampung) – Aroma asap, kayu dan sekam terbakar menyeruak di hidung saat penulis memasuki Dusun Buring Desa Sukabaru Kecamatan Penengahan Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung ini. Aroma tersebut merupakan aroma aktifitas pembakaran dari bangunan seperti rumah yang dikenal dengan “tobong bata” atau tempat pembakaran bata merah milik warga setempat.
Dusun Buring merupakan salah satu sentra industri kecil rakyat khususnya pembuatan batu bata merah yang merupakan bahan pokok pembangunan rumah / gedung / tembok dan lain-lain. Di dusun Buring inilah Anton (30) salah satu warga desa yang mempunyai usaha pembuatan batu bata. Anton dibantu istrinya Makmunah (28) setiap hari berada di tobong bata miliknya untuk mencetak batu bata merah yang dibuatnya secara manual.
Pembangunan yang berkelanjutan banyak memberikan peluang bagi banyak orang, apalagi ditunjang pendapatan yang semakin meningkat sehingga memberikan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan utama, seperti properti. Dari hal inilah sebuah peluang muncul dalam pengadaan material utama pendukung dalam pembangunan properti yaitu batu bata. Meskipun sudah ditemukan inovasi bahan pengganti batu bata dalam membuat dinding bangunan seperti Batako, tetapi sebagian besar masyarakat masih fanatik menggunakan batu bata. Bahkan di Dusun Buring pembuatan batau bata merah pun sudah memiliki dua model baik masih menggunakan cara pencetakan tradisional dan juga modern.
“Pemilihan lahan.tanah yang mempunyai tekstur sangat liat dan tidak terlalu banyak mengandung pasir adalah pilihan yang paling baik, kalau tanah yang banyak mengandung pasir akan mengurangi kekuatan dari batu bata, kalau dekat dengan sumber air, akan sangat membantu proses pembuatan. Mengenai lokasi usaha,  yang perlu diperhatikan adalah letak transportasi yang mudah dijangkau, lokasi pemasaran serta luas lokasi, sehingga memungkinkan pembuatan tempat untuk pencetakan, penjemuran, pembakaran dan penampungan Batu Bata Merah yang siap mudah dipasarka” ungkap Anton kepada Cendananews.com Selasa (31/3/2015)..
Di Dusun Buring dan sekitarnya biasanya tanah yang akan dibuat batu bata tersebut merupakan tanah yang disewakan, tanah tersebut kebanyakan tanah yang agak tinggi dari sungai yang ada yakni Sungai Way Pisang yang mengalir di daerah tersebut, sehingga sulit untuk diairi dan dengan pengurangan permukaan tanah tersebut diharapkan nantinya tanah kembali dari penyewa yaitu pengusaha batu bata akan lebih subur karena permukaannya lebih rendah dan dapat diairi. Hasil dari usaha produksi batu bata untuk pembuatan dinding bangunan, yang tingkat kekuatan dan kesejukannya dalam pembuatan rumah sangat tinggi jika dibandingkan dengan bahan yang menggunakan batu bata pres.
“Saya memulai usaha pembuatan batu bata ini sudah sekitar 2 tahun yang lalu dan merupakan usaha turun temurun dengan modal awal 5 juta rupiah sudah dapat untuk menyewa tanah milik bibi saya ini ya tak luas tapi bagus untuk pembuatan bata merah,” ujar Anton.
Anton yang selain dibantu istrinya tersebut mengaku juga dibantu oleh pekerja lain. Anton membuat bata berukuran panjang 20 cm, lebar 10 cm dan tebal 4cm yang dibuat dengan cetakan dari kayu dan dibuat manual menggunakan peralata sederhana. Ia mengaku dalam sehari berhasil membuat bata merah sebanyak 500 keping.
Usaha yang ditekuni oleh Anton terbilang usaha keluarga, namun demikian ia mengaku modal yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Sebelum membakar bata merah yang sudah kering ia mengaku harus merogoh kocek sebesar Rp650.000,- yang digunakan sebagai bahan bakar untuk membakar batu bata miliknya. Selain itu ia harus mengeluarkan biaya operasional lain untuk pekerja, serta lain lain yang jika dikalkulasikan biaya operasionalnya bisa mencapai Rp2.500.000,-
“Bagi kami uang segitu cukup besar dan untuk itu kami harus mencetak terus agar bisa cepat dibakar lalu dijual sehingga bisa kembali mencetak lagi jika sudah dibeli orang,” ungkapnya.
Proses pembuatan yang dilakukannya pun secara bertahap dilakukan untuk memenuhi target sebanyak 25.000 bata agar bisa dibakar secara bersamaan. Proses pencetakan, pengeringan, pembakaran dilakukan dengan sangat hati hati dengan memperhatikan faktor cuaca. Jika cuaca panas maka proses pengeringan yang dilakukan di dekat tobong bata miliknya akan berlangsung sempurna sementara jika hujan terpaksa harus ditutup dengan plastik atau terpal.
“Kendala kami adalah hujan sebab jika hujan proses pengeringan akan lama dan bisanya dijemur di dalam sekitar tobong biar diangin anginkan sebelum dibakar tapi akan bagus jika cuaca panas seperti ini,” ujar Anton.
Usaha yang ditekuni oleh Anton ini diakui merupakan usaha yang tak cukup diperhitungkan oleh pemerintah, hal tersebut diakui oleh Anton dengan tak adanya bantuan yang diperolehnya untuk permodalan. Sebab selama ini ia mengaku belum pernah mendapatkan modal untuk usaha tersebut dan meminjam kepada orang lain untuk modal usaha.
Menyiasati hal tersebut Anton mengaku mulai menawarkan bata miliknya beberapa hari atau minggu sebelum dibakar, selain dirinya biasanya sudah ada makelar ataupun toko bangunan yang memesan. Dalam sekali membakar di tobong ia mengaku biasa membakar sekitar 25.000 batu bata. Targetnya ia harus memperoleh uang sekitar 6 juta untuk bisa mendapat keuntungan dikurangi biaya operasional proses pembuatan bata sampai bisa dijual.
Batu bata merah buatannya menurut Anton diakui berbeda dengan batu bata press buatan mesin. Sebab menurutnya bata merah buatan mesin memang memiliki kecepatan namun soal kualitas bata merah buatan manual diakunya lebih kuat.
Dalam sekali membakar, Anton mengaku menghasilkan sekitar 25.000 buah batu bata dengan menggunakan kayu sebanyak 2 Rit truck, sedangkan untuk biaya lainnya yang masih dibutuhkan, yaitu ongkos cetak, kerik, bakar, transportasi, dan bongkar muat. Setelah itu batu bata diadakan pensortiran sesuai dengan kualitasnya, baru siap dipasarkan.
Pada saat ini harga kualitas I Rp. 250.000,- per 1000 buah dan kualitas II Rp. 230.000,- per 1000 buah. Harga tersebut menurutnya “harga ditempat”, artinya konsumen masih harus mengeluarkan sendiri ongkos angkut mobil, bongkar muat tergantung jauh dekat jarak tujuan.
Dan harga batu bata ini akan lebih mahal pada saat musim penghujan mencapai kisaran Rp. 300.000,- sampai dengan Rp. 350.000,- per 1000 buah. Pemasaran hasil batu bata merah milik Anton  didaerah Bakauheni, Kalianda, Ketapang dan sekitarnya.
Selain Anton beberapa warga lain yang menekuni industri kecil tersebut di dusun Butring diantaranya Yasmin (35), Andi (35) dan beberapa warga lain. Menurut warga usaha tersebut terkadang terkena pasang surut dan bagi yang memang menekuni maka akan terus bertahan, namun terkadang ada warga yang kehabisan modal dan terpaksa banting stir ke usaha lain.
“Jika musim menanam jagung biasanya pembuatan bata merah dilakukan sambilan, apalagi jika pemilik tobong juga memiliki lahan jagung, jadi ya punya kebun sambil usaha batu bata,” ujar Yasmin.
Ia berharap pemerintah setempat memperhatikan usaha tersebut dengan melakukan pembinaan ataupun pendampingan berikut pemberian modal sebab usaha batu bata cukup penting untuk perumahan ataupun pembangunan. 
Menurut Yasmin, batu bata merah di Dusun Buing sudah cukup dikenal sehingga usaha tersebut tetap akan terus berjalan meskipun saat ini para pengembang perumahan beberapa sudah beralih ke penggunaan batako atau batu bata dari semen.
“Masyarakat masih tetap mencintai batu bata sehingga usaha dan produksi di dusun kami terus akan berlangsung selama masih tetap ada pesanan,” ujar Yasmin.

———————————————————-
Selasa, 31 Maret 2015
Jurnalis : Henk Widi
Editor   : ME. Bijo Dirajo
———————————————————-

Lihat juga...