Kain Kapal: Keagungan Peradaban Maritim di Ujung Selatan Sumatera

 

Tenun Kain Kapal

CENDANANEWS– Sebagai kawasan dengan kebudayaan maritim terbesar di dunia, Sumatera juga dikenal dengan tradisi kain (khususnya tenun) tertua dan terkaya. Kain-kain asal Sumatera menjadi spesial karena menjadi representasi dari nilai sejarah, budaya, kepercayaan, seni, kearifan lokal, tradisi, serta keterampilan yang begitu luar biasa. Kini, kain-kain dari Pulau Andalas ini telah menjadi koleksi yang paling prestisius bagi berbagai galeri dan museum seni serta etnografi di seluruh dunia.
Kain Kapal yang berasal dari Lampung merupakan salah satu masterpiece yang tak ternilai harganya. Dari data rilis yang pernah Cendananews.com terima dari Miyara Sumatera Foundtion, Kain Kapal Lampung koleksi Miyara Sumatera ini berasal dari abad ke-19.
Selain kapas dan emas yang ditenun dengan metode ikat, untuk membuat kain dari kawasan pesisir Lampung tersebut, diperlukan juga kepompong sutera (benang sutera), lilin sarang lebah (untuk meregangkan benang), akar serai wangi (untuk pengawet benang), daun sirih (untuk menguatkan warna), buah pinang (sebagai pewarna merah), dan banyak lagi tumbuhan lokal yang djadikan sebagai pewarna alami.
Dibutuhkan waktu dan keahlian yang besar untuk proses pembuatan sehelai kain. Kain Kapal merupakan warisan budaya sebagai simbol keselarasan antara kehidupan manusia dan alam. Motif kapal melambangkan semesta sebagai potret kehidupan maritim. Beberapa aristokrat (kaum bangsawan) bersama dengan para binatang prestisius (gajah) berdiri pada dek kapal. Pada bagian tengah, terdapat sebuah rumah yang menjadi titik sentral. Biasanya, Kain Kapal dipakai sebagai hiasan dekorasi yang ditempel pada tembok pada saat berlangsungnya upacara dan ritual penting, seperti pengangkatan pemimpin, perkawinan, dan lainnya.
Sayangnya, Kain Kapal kini telah punah akibat letusan Gunung Krakatau (1883) yang menghancurkan kawasan pesisir di sekitar Kalianda, Lampung Selatan. Selain bencana alam, kepunahan kain yang memiliki keterkaitan dengan peradaban Dong Son (ratusan abad sebelum Masehi) ini juga disebabkan oleh kolonialisme Jepang, di mana masyarakat lokal dipaksa untuk membuat tekstil bagi tentara perang.
Sekarang, tidak ada lagi penenun yang memproduksinya karena tak memiliki keahlian dan tak ada lagi tradisi/ritual terkait keberadaan kain. Sementara itu, Kain Kapal telah menjadi koleksi paling berharga di berbagai museum di luar negeri, seperti di Belanda, Amerika Serikat, Australia, dan banyak lagi.
Hutan Mangrove
Sebagai organisasi yang bergerak untuk pelestarian budaya, Miyara Sumatera Foundation (Miyara Sumatera) yang digagas oleh Irma Hutabarat turut terlibat dalam pelestarian kain-kain kuno di Sumatera. Salah satu yang menjadi perhatian besar Miyara Sumatera adalah keberadaan Kain Kapal. Melalui Program “Konservasi Kain Sumatera,” Miyara Sumatera juga melakukan konservasi terhadap sekitar lebih dari 10 koleksi kain asal Lampung, yaitu Kain Kapal, Palepai, dan Kain Tapis.
Saat ini, Miyara Sumatera tengah membuat kajian (studi), melakukan aktivitas advokasi dan kampanye melalui diskusi komunitas tentang sejarah-budaya kain Sumatera, serta mempersiapkan pameran kain sebagai wujud perhatian terhadap kebudayaan dan upaya awal bagi mimpi untuk kembali menghidupkan tradisi dan usaha kecil perempuan (sebagai penenun) Kain Kapal di Lampung.
Kegiatan dan aktifitas Miyara Sumatera yang pernah penulis ikuti adalah kegiatan penanaman Mangrove di kawasan pantai Kalianda Lampung Selatan yang masih berada di kawasan wisata Grand Elty Kalianda.

———————————————————–
Selasa, 3 Maret 2015
Jurnalis : Hendricus Widiantoro / Miyara Sumatera Foundation
Editor : Muhsine Piliang
———————————————————-

Lihat juga...