Pengrajin Tempe Bungkus Daun Pisang yang Terus Berproduksi

CENDANANEWS– Ribuan bungkus tempe berbungkus daun pisang, tali dari alang alang dan pelepah pisang diletakkan di balai balai bambu beralaskan tikar. Demikian pemandangan yang Cendananews saksikan pertama kali saat masuk ke rumah salah seorang warga di Desa Bangun Rejo Kecamatan Ketapang Lampung Selatan Provinsi Lampung pada Kamis (5/3/2015).
Beberapa ibu ibu terlihat asik membungkus biji biji kedelai menggunakan daun pisang yang selanjutnya ditali dan disusun rapi di balai balai bambu tersebut. Mbok Yatun (45) nama pemilik usaha pembuatan atau tepatnya pengrajin bahan makanan bernama tempe tersebut terlihat dibantu Sari, Ratmi, Inah serta beberapa wanita yang sebagian merupakan anak dan menantunya.
“Silakan lihat mas beginilah cara membuat tempe, mungkin mas tahunya kalau sudah jadi gorengan di warung, “ujar Mbok Yatun diiringi senyum sekitar 4 hingga 6 orang wanita yang ikut membantunya. Mereka masih kerabat mbok Yatun, mennatu dan anaknya.
Menurut Mbok Yatun pembuatan tempe yang dibuatnya sama dengan cara pembuatan tempe pada umumnya. Pada tahap awal pembuatan tempe, biji kedelai direbus. Tahap perebusan ini berfungsi sebagai proses hidrasi, yaitu agar biji kedelai menyerap air sebanyak mungkin. Perebusan juga dimaksudkan untuk melunakkan biji kedelai supaya nantinya dapat menyerap asam pada tahap perendaman.
Proses pencucian akhir dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang mungkin dibentuk oleh bakteri asam laktat dan agar biji kedelai tidak terlalu asam. Bakteri dan kotorannya dapat menghambat pertumbuhan jamur tempe.
Selanjutnya dikenal dengan proses peragian tempe (Jawa: Laru) yang diperoleh dari “biang” atau bahan yang dibuat dari kapang yang telah tumbuh dan dikeringkan pada daun waru atau daun jati yang menghasilkan spora.
Setelah diberi ragi maka proses selanjutnya biji-biji kedelai dibungkus atau ditempatkan dalam wadah untuk fermentasi. Secara khusus Mbok Yatun mempergunakan daun pisang yang merupakan hasil dari kebun.
“Kita pergunakan bahan alami dari sekitar pekarangan rumah, daun pisang, alang alang serta bagian kulit pisang kering untuk tali setelah bahan tempe dibungkus,” ujar Mbok Yatun sambil memperlihatkan kepada Cendananews.com cara pembungkusan bahan tempe di daun pisang tersebut.
Setelah dibungkus biji-biji kedelai dibiarkan untuk mengalami proses fermentasi. Pada proses ini kapang tumbuh pada permukaan dan menembus biji-biji kedelai, menyatukannya menjadi tempe.
“Butuh waktu sekitar sehari semalam untuk jadi dan biasanya sudah berdatangan para pedagang yang akan menjadikannya bahan untuk gorengan,” ujar mbok Yatun.
Lebih lanjut Mbok Yatun mengisahkan usahanya tersebut sudah dirintis sekitar 30 tahun lebih. Bahkan dalam ingatan Mbok Yatun sudah mulai membuat tempe sejak tahun 1973 dimulai dari orangtua dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam sekali membuat tempe Mbok Yatun mengaku menghabiskan sebanyak setengah kuintal atau 50 kilogram kedelai dan jumlah sebanyak itu mampu menghasilkan sekitar lebih dari seribu bungkus ukuran kecil.
Setelah jadi maka tempe mentah buatan mbok Yatun dijual dengan harga Rp 1000/ enam bungkus untuk ukuran kecil, Rp 5.000/ 13 bungkus untuk ukuran besar atau Rp 10.000 untuk 26 bungkus.
Membuat tempe 4 kali dalam sepekan meliputi hari Selasa dan Rabu serta Sabtu dan Minggu, Sementara dalam sebulan menghabiskan kedelai sebanyak 5 kuintal.
“Para konsumen lebih banyak adalah penjual gorengan karena tempe ini dijual dalam bentuk gorengan ke pelajar sekolah,” ujar Yatmi salah seorang anaknya menimpali.
Pembeli menyukai tempe buatan Mbok Yatun karena ukurannya besar dan pas untuk dijual bagi anak anak sekolah baik SMP maupun SMA dalam wujud gorengan.
Tak hanya konsumen yang ada di Kecamatan Ketapang, Penengahan di Kabupaten Lampung Selatan bahkan tempe buatannya sudah lintas kecamatan. Meskipun demikian Mbok Yatun mengaku usahanya belum mendapat bantuan dari pemerintah, walaupun pernah ditawari modal namun masih terasa berat untuk mengembalikan.
Salah seorang konsumen bernama Sumiati yang saat Cendananews berada di lokasi pembuatan ia sedang membeli tempe mengaku dalam sehari hari berjualan gorengan di pasar Pendowo.
Sumiati membeli dari mbok Yatun tempe seminggu dua kali rata rata 45 ribu untuk bahan dan dijual dalam bentuk gorengan bisa mendapatan uang sekitar 70 hingga 80 ribu bahkan lebih.
“Saya beli di sini karena ukurannya besar dan disukai karena bersih, renyah saat digoreng dan pastinya makanan tradisional yang semua kalangan suka,” ujar Sumiati.
proses pembuatan tempe
Meski sudah bertahun tahun menekuni usaha tersebut tidak menyurutkan semangat mbok Yatun untuk terus membuat salah satu makanan tradisional yang terkenal di Indonesia tersebut. Warisan dari generasi ke generasi dan sudah dua generasi diwariskan akan terus ditekuninya.
“Jika tidak sibuk bertani kami membuat tempe, tapi kalau sedang sibuk di sawah ya kami kurangi produksinya,” ujar Mbok Yatun.
Ketekunan akan usaha tersebut agaknya berbuah manis, ia bisa menyekolahkan anak anaknya ke jenjang yang lebih tinggi darinya dan bisa memberi lapangan pekerjaan bagi anak anak serta menambah penghasilan dari memproduksi tempe. Mbok Yatun berharap usahanya tersebut akan terus berjalan meskipun menggunakan cara cara tradisional dan tetap bisa diteruskan oleh generasi penerusnya.
———————————————————-
Kamis, 5 Maret 2015
Jurnalis/Fotografer: Henk Widi
Editor : ME. Bijo Dirajo
———————————————————-
Lihat juga...