CENDANANEWS (Mengenal Soeharto) – Setibanya di Jakarta pada tanggal 15 September 1945, Van Mook, pimpinan NICA (Netherland Indies Civil Administration/pemerintahan sipil Hindia Belanda), menyatakan tidak akan berunding dengan Soekarno yang dianggapnya bekerjasama dengan Jepang. NICA membawa misi pembentukan negara persemakmuran dengan keanggotaan kerajaan Belanda dan Indonesia yang diketuai Ratu Belanda.
Pada tanggal 4 Januari 1946, seiring tekanan sekutu mempersempit ruang gerak pejuang, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta pindah ke Yogyakarta, sekaligus menandai perpindahan Ibukota Negara dari Jakarta ke Yogyakarta. Perpindahan Ibukota semakin menambah tekanan kepada Yogyakarta sebagai simbol eksistensi pemerintah Republik Indonesia yang di dalamnya syarat dengan tekanan politis maupun militer, baik dari dalam maupun luar (Sekutu dan Belanda). Sementara itu, Letkol Soeharto, atas prestasinya di berbagai front pertempuran, dipercaya sebagai Komandan Resimen 22 Divisi Diponegoro Yogyakarta yang ternyata kemudian menjadi Ibu Kota.
Untuk mengantisipasi sikap Belanda para pemimpin Indonesia melakukan perubahan sistem kabinet dari presidensil menjadi kabinet parlementer dan Sutan Sjahrir diangkat sebagai Perdana Menteri. Sjahrir merupakan tokoh sosialis yang dipandang tepat menjalankan diplomasi dengan Belanda karena bersamaan dengan momentum kebangkitan Partai Sosisialis di Belanda.
Proses diplomasi Sjahrir dinilai cenderung kooperatif dengan agenda Belanda untuk pembentukan negara persemakmuran. Puncaknya ketika Sjahrir mengirim surat rahasia (usulan balasan) kepada Van Mook yang isinya secara samar-samar menerima gagasan Van Mook. Sebagaimana diakui Van Mook —melalui kawatnya ke Den Haag—, Soekarno tidak menyetujui surat balasan itu. Walaupun menyatakan dukungan penuh kepada Sjahrir, pada tanggal 27 Juni 1946, Wakil Presiden Muhammad Hatta memaparkan isi surat balasan itu dalam pidato peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw, di alun-alun utara Yogyakarta, yang dihadiri khalayak luas dan Presiden Soekarno. Pada hari itu pula Perdana Menteri Sjahrir di culik oleh orang tidak dikenal di Solo.
Sebelumnya, tepatnya tanggal 23 Juni 1946, Tan Malaka, Subardjo, Iwa Kusuma Sumantri dan Sukarni sebagai tokoh kelompok Persatuan Perjuangan —sebuah sumber menyebutkan sebagai tokoh politik golongan Murba— ditangkap dengan tuduhan berencana menculik anggota-anggota kabinet Sjahrir II. Mereka tidak puas terhadap politik diplomasi Sjahrir dalam menghadapi Belanda. Kelompok ini mengklaim menginginkan kedaulatan RI secara penuh, sedangkan kabinet Sjahrir dianggap hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura. Pada saat penangkapan itu, kelompok milter yang sejalan dengan garis politik kelompok Persatuan Perjuangan belum ditangkap. Pada tanggal 28 Juni 1946, Presiden Soekarno mengumumkan keadaan darurat dan mengambil alih semua kekuasaan pemerintahan. Dalam momen inilah, Letkol Soeharto sebagai Komandan Resimen 22 Divisi Diponegoro, pengendali Ibukota Yogyakarta, dihadapkan ujian politik dan militer.
Beberapa saat setelah pengumuman keadaan darurat, Letkol Soeharto didatangi ketua pemuda Pathuk bernama Sundjoyo di markasnya, Wiyoro Yogyakarta. Tanpa bukti tertulis, Sundjoyo mengaku sebagai utusan Istana dan membawa pesan agar Letkol Soeharto menangkap pimpinannya, Panglima Divisi Diponegoro, Mayor Jenderal Sudarsono. Mayor Jenderal Sudarsono diidentifikasi sebagai sayap militer kelompok Tan Malaka yang berencana melakukan kudeta.
Letkol Soeharto menghadapi situasi tarik ulur politik ini dengan tangkas. Ia mendudukkan penugasan itu dalam koridor konstitusional dan mengembalikan surat perintah dengan menyatakan bahwa hirarki perintah itu seharusnya melalui atasannya, Panglima Besar Jenderal Sudirman. Pengembalian surat itu disertai jaminan bahwa tidak ada gerakan militer yang membahayakan pemerintah (Presiden Soekarno). Atas sikap komandan muda itu, pembawa pesan melakukan faita comply bahwa Jenderal Sudirman juga terlibat dalam gerakan kudeta. Hal mana situasinya menambah keyakinan Letkol Soeharto bahwa perintah itu tidak benar karena tahu benar karakter Jenderal Sudirman. Atas penolakan itu Letkol Soeharto diberi julukan opsir koppig (keras kepala) oleh Presiden Soekarno, walaupun yang bersangkutan belum pernah saling ketemu.
Setelah mengembalikan surat perintah, Letkol Soeharto memenuhi janjinya, melakukan konsinyir resimen yang ia pimpin. Ia juga melapor kepada panglimanya, Mayor Jenderal Sudarsono tentang laskar-laskar dari biro perjuangan yang akan menangkapnya. Ia menyampaikan alasan apabila penangkapan itu terjadi, kehormatan Divisi Diponegoro akan tercoreng. Oleh karena itu ia meminta Mayor Jenderal Sudarsono bersedia konsinyir bersama pasukannya di Wiyoro dan permintaan itu benar-benar dipenuhi.
Sesaat setelah tiba di Wiyoro, Mayor Jenderal Sudarsono membuka surat telegram dari Panglima Besar Jenderal Sudirman. Mayor Jenderal Sudarsono mengatakan kalau dirinya dipanggil menghadap Panglima Besar Jenderal Sudirman pada saat itu juga. Dengan alasan tersebut, Letkol Soeharto melepas Mayor Jenderal Sudarsono dengan pengawalan satu peleton pasukan berkendaraan truk. Namun berselang satu jam berikutnya, Panglima Besar Jenderal Sudirman menelpon dan memerintahkan agar menahan Mayor Jenderal Sudarsono di Wiyoro. Letkol Soeharto menyampaikan bahwa Mayor Jenderal Sudarsono sudah pergi untuk menghadap Panglima Besar Jenderal Sudirman dan menyerahkan kebijakan selanjutnya pada Panglima Besar Jenderal Sudirman. Berdasarkan perbincangan telpon itu, Letkol Soeharto mengetahui secara pasti bahwa Panglima Besarnya Jenderal Sudirman, tidak terlibat dengan usaha coup yang dilakukan kelompok Tan Malaka maupun menyetujui gerakan Mayor Jenderal Sudarsono.
Tanggal 2 Juli 1946 tengah malam, Mayor Jenderal Sudarsono bersama politisi kelompok Persatuan Perjuangan —yang sebelumnya ditangkap dan ia bebaskan sendiri dari tahanan Wirogunan— datang lagi ke Wiyoro. Setibanya di Wiyoro, Mayor Jenderal Sudarsono mengatakan kepada Letkol Soeharto bahwa dirinya memperoleh perintah dari Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk membuat surat kepada Presiden yang isinya “supaya pemerintahan sekarang dibubarkan dan diganti pemerintah baru”. Surat tersebut akan disampaikan keesokan harinya.
Pernyataan yang baru saja didengar itu melengkapi informasi yang harus dihimpun seputar keterlibatan Mayor Jenderal Sudarsono dalam aksi kudeta, setelah sebelumnya memperoleh kepastian Panglima Besar Jenderal Soedirman tidak terlibat. Ia juga merasa akan ditipu oleh Mayor Jenderal Sudarsono dengan mengklaim tindakannya merupakan perintah Panglima Besar Jenderal Soedirman. Atas pemetaan situasi yang dirasa cukup, Letkol Soeharto menyampaikan rencana Mayor Jenderal Sudarsono kepada pihak istana dan menyerahkan penangkapan kepada pihak istana. Letkol Soeharto juga menyampaikan jaminan keamanan di luar istana dan menjamin tidak akan ada gejolak dikalangan prajurit atas penangkapan Panglimanya itu.
Pagi hari tanggal 3 Juli 1946, Mayor Jenderal Sudarsono bersama kelompoknya menghadap Presiden Soekarno dan menyodorkan empat maklumat untuk ditandatangani presiden. Mereka menuntut Presiden Soekarno agar bersedia:
Memberhentikan Kabinet Sjahrir II,
Menyerahkan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik,
Mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik yang diketuai Tan Malaka dan beranggotakan Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, Buntaran Martoatmodjo, Budiarto Martoatmodjo, Sukarni, Chaerul Saleh, Sudiro, Gatot, dan Iwa Kusuma Sumantri.
Mengangkat 13 menteri negara yang nama-namanya dicantumkan dalam maklumat.
Tuntutan itu secara jelas tidak hanya meminta pergantian Kabinet Sjahrir, akan tetapi juga meminta penyerahan kepemimpinan Presiden yang meliputi kepemimpinan politik, sosial dan ekonomi. Presiden Soekarno sudah mengetahui rencana tersebut berkat laporan Letkol Soeharto. Aparat keamanan istana sudah berjaga-jaga dan dengan mudah melakukan penangkapan terhadap Mayor Jenderal Sudarsono beserta kelompoknya. Penangkapan itu tanpa gejolak karena pasukan di konsinyir Letkol Soeharto. Pada hari itu pula upaya kudeta terhadap pemerintahan yang sah dengan sendirinya berakhir tanpa pertumpahan darah. Empat belas orang yang diduga terlibat dalam upaya kudeta diajukan ke Mahkamah Tentara Agung. Tujuh orang dibebaskan, lima orang dihukum 2 sampai 3 tahun, sedangkan Sudarsono dan Muhammad Yamin dijatuhi hukuman selama empat tahun penjara. Dua tahun kemudian, pada tanggal 17 Agustus 1948, seluruh tahanan dibebaskan melalui pemberian grasi presiden.
Apabila dicermati Letkol Soeharto yang kala itu masih berusia 25 tahun merupakan aktor penting kegagalan kudeta pertama dalam pemerintahan Republik Indonesia, karena:
Kebanyakan analisis atau pengamat hanya memfokuskan penolakan perintah Presiden oleh Letkol Soeharto sebagai pembangkangan sehingga memperoleh julukan sebagai perwira muda koppig. Pengembalian surat perintah pada dasarnya dilatarbelakangi semata-mata pertimbangan normatif seorang komandan muda lugu untuk tidak menyalahi hirarki kemiliteran. Bahwa sebuah operasi militer harus merupakan kebijakan dan perintah dari hirarki yang lebih tinggi dan bukan oleh perintah komponen-komponen di luarnya. Dalam usia muda itu Letkol Soeharto sudah terbentuk sebagai pemimpin yang memiliki visi constitutionalized (taat hukum) bahwa segala tindakannya harus didasarkan pada koridor peraturan yang berlaku.
Terlepas adanya alasan normatif, apabila perintah penangkapan itu dilaksanakan dengan serta merta —dimana tindakan penangkapan Panglima Divisi dilakukan oleh bawahanya sendiri— kemungkinan dapat menimbulkan komplikasi dalam tubuh ketentaraan RI, berupa konfrontasi yang tajam antar satuan militer yang pro dan kontra penangkapan. Hal itu kontra produktif dengan upaya konsolidasi semua potensi ketentaraan dalam menghadapi Sekutu. Apalagi pada saat perintah itu diberikan, tampaknya Letkol Soeharto belum yakin betul bahwa Panglima Divisinya terlibat kudeta. Ia bahkan tampak kawatir, perintah itu merupakan buah permainan kelompok-kelompok politik, yang apabila dipenuhi akan merusak soliditas TKR yang sedang berkonsentrasi melawan sekutu.
Walaupun mengembalikan surat perintah, tindakan Letkol Soeharto memberikan jaminan keamanan Ibukota —dari gerakan militer atau coup yang membahayakan pemerintah— dengan sendirinya telah menutup peluang terjadinya kudeta. Jaminan itu diberikan bukannya tanpa alasan kuat, mengingat Resimen 22 yang dipimpinnya merupakan resimen terkuat dengan persenjataan paling lengkap dan merupakan kekuatan inti Divisi Diponegoro. Tanpa keterlibatan Resimen 22, Divisi Diponegoro tidak akan dapat digerakkan untuk melakukan kudeta oleh siapapun, termasuk oleh Panglima Divisinya sendiri, Mayor Jenderal Sudarsono. Jaminan itu diberikan dengan keyakinan penuh bahwa dirinya bisa memenuhinya dan mengendalikan keadaan.
Langkah konsinyir yang dilakukan Letkol Soeharto selain untuk memastikan Resimen 22 dalam kendali sepenuhnya, juga untuk melokalisir dan mengontrol pergerakan Mayor Jenderal Sudarsono. Pengawalan satu peleton pasukan menyertai Mayor Jenderal Sudarsono ketika meninggalkan Wiyoro dapat diartikan sebagi pengawalan keamanan sekaligus “karantina halus” untuk membatasi ruang gerak Panglima Divisinya itu. Konsinyir pasukan dan “karantina halus” merupakan antisipasi jika sewaktu-waktu mendapat perintah dari Jenderal Soedirman untuk melaksanakan perintah Istana.
Melalui dua langkah yang ditempuhnya —di satu sisi menolak menangkap Panglima Divisi Diponegoro Mayor Jenderal Sudarsono kecuali atas perintah Panglima Besar Jenderal Soedirman namun melakukan “karantina halus” terhadap Mayor Jenderal Sudarsono disisi lain— telah memberi cukup waktu bagi Letkol Soeharto untuk mengetahui kebenaran keterlibatan Panglima Divisi Diponegoro, sikap Jenderal Sudirman, siapa-siapa yang terlibat dan berapa kekuatan pihak-pihak yang terlibat. Selain itu dengan tetap memberikan ruang gerak yang leluasa bagi Mayor Jenderal Sudarsono telah memungkinkan semua pihak memperoleh bukti formal yang cukup untuk membuktikan keterlibatannya dalam pelaksanaan kudeta, seperti pembebasan tahanan politik dan pengajuan maklumat kepada presiden.
Jaminan keamanan yang diberikan Pak Harto kepada pihak istana telah menyebabkan Mayor Jenderal Sudarsono beserta anggota Kelompok Persatuan Perjuangan tidak memiliki kesiagaan ketika ditangkap oleh satuan keamanan istana. Mereka tidak bisa menggerakkan satuan-satuan ketentaraan dalam naungan Divisi Diponegoro untuk memberikan tekanan kepada istana. Hal itu disebabkan inti kekuatannya dari Resimen 22 telah dikondisikan oleh Letkol Soeharto untuk memberikan perlindungan atas “tindakan istana”.
Letkol Soeharto , sebagai komandan Resimen 22 Divisi Diponegoro memang tidak secara formal melakukan penangkapan pelaku kudeta. Namun ia memiliki peran sentral dalam mengkarantina ruang gerak sayap militer kelompok kudeta dan mengamankan kebijakan istana dalam penangkapan tokoh-tokoh pelaku kudeta. Tanpa disadari tindakannya berperan besar dalam menggagalkan kudeta tanpa pertumpahan darah dan komplikasi dalam tubuh institusi ketentaraan.
Peristiwa itu sendiri dikenal sebagai peristiwa 3 Juli 1946. Namun peran Letkol Soeharto yang genial itu tidak banyak diekspose kecuali penolakan surat perintah yang kemudian dirinya dijuluki sebagai perwira muda koppig.
———————————————————–
Jumat, 3 April 2015
Sumber : Jejak Kebijakan Presiden RI Ke II Edisi : Hidup dalam Pergesekan Bangsa