Tradisi Tedhak Sinten Masih Lestari di Lampung

Anak-anak Berebutan Duit saat Tedhak Sinten [Foto:CND]
CENDANANEWS (Lampung) – Beberapa anak kecil berlarian, sambi berteriak kegirangan dan bahkan ada yang sempat terjatuh di antara rerumputan. Rupanya mereka berebut uang receh serta uang kertas, ada yang Rp500,- ada yang Rp1000,- Rp2.000,- bahkan Rp5.000,- dalam jumlah banyak. Bahkan ada yang masuk ke selokan karena uangnya menggelinding. Rupanya anak anak tersebut mencari uang yang ditebar oleh seorang ibu bernama Aminah, nenek dari sang bayi yang ada dalam gendongannya, sementara sang ibu melihat dari kejauhan sambil melihat keseruan anak anak berbebut berkat tersebut.
Dalam budaya budaya etnis Jawa, ada juga hal-hal tertentu, upacara-upacara yang harus dilakukan orang tua bayi. Namanya Tedhak siten seperti salah satunya yang dilakukan Aminah. Tedhak siten adalah upacara perlambang untuk anak yang siap-siap menjalani hidup lewat tuntunan orang  tua ketika si anak sudah mulai akan berjalan atau menapaki siti (bumi), yang dilambangkan sebagai awal si anak memasuki kehidupan. Dalam pengartian lain: untuk mengenalkan sang buah hati kepada ibu pertiwi. Senada dengan pepatah Jawa “ibu pertiwi bopo angkoso” yang melambangkan bumi sebagai ibu dan langit sebagai bapak.
Bahkan dari pantauan Cendananews.com, tradisi yang berakar dari Jawa ini masih berlangsung dan dilestarikan oleh warga  Desa Sukamandi Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan Provinsi Lampung.
“Ia ini sudah biasa dilakukan di sini tapi ya sudah jarang namun masih ada yang tetap melestarikannya sebagai tradisi leluhur,” ungkap Aminah (65) kepada cendananews.com Minggu (12/4/2015).
Menurutnya sebenarnya rangkaian tradisi tersebut cukup panjang tapi karena keterbatasan ia mengaku mengambil inti dari tradisi tersebut. Bahkan dalam upacara lengkap harus menyediakan uba rampe yang biasanya disiapkan dalam tradisi tersebut. Namun karena kondisi akhirnya disederhanakan. 
Berdasarkan penjelasan dari beberapa orang yang sudah memahami tradisi ini, pada dasarnya upacara ini bisa disesuaikan dengan kondisi saat ini. Dalam uba rampe bisa terjadi tambahan dan bahkan pengurangan/penyempitan. Karena tidak adanya bahan atau keperluan uba rampe turun menurun dari leluhur. Sebab lain, keadaan ekonomi yang mungkin tidak bisa memenuhi kelengkapan uba rampe. 
“Kita lakukan secara sederhana yang jelas intinya masih tetap mensyukuri atas kelahiran anak serta berharap keselamatan anak nantinya,” ungkap Aminah.
Sementara itu berdasarkan penuturan Mbah Kromo (78) salah seorang tokoh di kampung tersebut, ie menjelaskan bahwa tradisi Tedhak siten umumnya dilaksanakan di halaman rumah pada sore hari; beberapa sumber lain menyebutkan pagi atau siang hari. Ada pun tidak menjadi suatu persyaratan penting apakah upacara dilaksanakan di halaman atau di dalam rumah. Karena tak semua rumah memiliki halaman yang bisa disebut luas atau mencukupi. Maka dari itu, ada beberapa orang yang melakukannya di gandok rumah, rumah bagian belakang. Semua itu disesuaikan dengan keadaan yang terpenting upacara dapat terlaksanakan tanpa menggunakan uba ranpe yang lengkap.
Tujuan lain tedhak siten adalah sebagai peringatan dan pengajaran bagi manusia akan makna hidup di atas bumi bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, melainkan butuh relasi dengan Gusti Pangeran (Tuhan), dengan sesamanya, dan dengan lingkungan alam. Artinya, tedhak siten mengandung harapan orang tua terhadap anaknya kelak berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya, serta kelak sudah dewasa akan mampu berdiri sendiri.
Meskipun masih ada, namun Tedhak siten kini merupakan salah satu upacara adat di nusantara yang sudah tergolong sangat jarang dilaksanakan. Namun masih ada sebagian yang tetap  melestarikanya, sebab berdasarkan pengakuan Aminah, tradisi ini memiliki makna dan filosof di mana tedhak siten  dianggap sebagai langkah awal atau langkah pertama sang buah hati menjejakkan kaki dan mengenal lingkungannya.
Masyarakat pulau Jawa mengenal upacara tedak siti bagi anak yang baru lahir dengan menebar beras kuning yang telah dicampur dengan uang logam untuk diperebutkan. Upacara tedak siti ini menggambarkan agar sang anak kelak menjadi dermawan dalam lingkungannya.
“Makanya tadi bisa dilihat ada tebar beras kuning dan anak anak serat orangtua berebut mengambil uang yang disebar bersama beras kuning tersebut,” ujarnya.
Beras kuning adalah beras yang telah diwarnai dengan pewarna alami dengan kunyit atau kunir. Kemudian dalam beras kuning dimasukkan uang logam yang nanti ditaburkan di akhir upacara tedhak siten.
Setelah mendapatkan uang tersebut, anak anak tersebut masih akan mendapatkan “among among” berupa nasi yang dibungkus daun pisang dengan lauk pauk tempe, telor rebus serta urap dari daun singkong, serta makanan lain yang bisa dibawa pulang atau dimakan bersama sama di rumah pemilik bayi.
Lihat juga...