Deklarasi Djuanda Tak Bisa Berdiri Sendiri Tanpa Konsep Wawasan Nusantara Presiden Soeharto


CENDANANEWS (Mengenal Jenderal Besar HM.Soeharto) – Deklarasi Djuanda dicetuskan oleh Djuanda Kartawidjaja yang menjabat sebagai Perdana Menteri pada pemerintahan Bung Karno pada tanggal 13 Desember 1957, yang menerangkan bahwa laut Indonesia dan sekitar, beserta laut didalam wilayah kepulauan Indonesia menjadi kesatuan yang utuh di dalam NKRI. Deklarasi ini memproklamirkan tentang kedaulatan Indonesia yang terdiri dari ribuan Kepulauan yang diantarai oleh laut. Berdasarkan hukum laut peninggalan kolonial Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939) sebelum deklarasi ini dicetuskan, maka wilayah NKRI khususnya wilayah laut dapat saja dilintasi kapal negara asing yang ingin melintas.
Namun tanpa gagasan Wawasan Nusantara yang pertama kali dicetuskan Presiden Soeharto pada tanggal 23 September 1967, di hadapan peserta peringatan Hari Bahari, maka Deklarasi Djuanda tidak dapat diimplementasikan sebagai tonggak kedaulatan NKRI sebagai negara kepulauan/maritim. 

Pada kesempatan itu Pejabat Presiden Jenderal Soeharto, dalam amanatnya mengatakan bahwa Wawasan Nusantara adalah integrasi yang bulat dan serasi daripada Wawasan Pertiwi, Wawasan Bahari, dan Wawasan Dirgantara.

Deklarasi Djuanda merupakan elemen penting dari Wawasan Bahari yang dimaksud Presiden waktu itu. Melalui upaya yang panjang dengan menyampaikan ide wawasan nusantara itu dalam berbagai pertemuan dengan pelbagai kepala negara sahabat baik tingkat Regional hingga Internasional, di kesempatan resmi maupun pertemuan persahabatan hingga Konferensi-konferensi Tingkat Tinggi, konsep Wawasan Nusantara menjadi topik yang terus didengungkan oleh Presiden Soeharto. 
Dan pada puncaknya konsep Wawasan Nusantara berhasil dirumuskan sebagai Hukum Internasional pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 atau United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982). Sebanyak 119 negara di dunia, termasuk Indonesia, telah menandatangani Konvensi tersebut di dalamnya memuat 9 buah pasal mengenai perihal ketentuan tentang prinsip “Negara Kepulauan”. Salah satu pasal dalam prinsip Negara Kepulauan tersebut menyatakan bahwa laut bukan sebagai alat pemisah, melainkan sebagai alat yang menyatukan pulau-pulau yang satu dengan lainnya,
Perjuangan untuk menghasilkan Konvensi Hukum Laut yang disahkan PBB tersebut bukanlah pekerjaan satu malam. Semenjak peringatan Hari Bahari 1967 tersebut, pada tanggal 6 Agustus 1968, Konfrensi Tingkat Menteri ASEAN yang ke-2 di Jakarta. Dalam sambutannya Presiden Soeharto mengatakan bahwa pembangunan ekonomi dan stabilisasi wilayah merupakan dua masalah yang harus dapat diserasikan, sebab keduanya saling berkaitan. Dihadiri oleh para menteri luar negeri negara-negara ASEAN, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Muangthai. 
Dalam kesempatan itu konsep Wawasan Nusantara mulai diperkenalkan kepada negara-negara sekitar NKRI. Hal ini mendapat tanggapan positif dari negara-negara tetangga sebagaimana yang pernah di sampaikan Lee Kuan Yew PM Singapura, konsep wawasan nusantara yang disampaikan Presiden Soeharto menegaskan bahwa negara Indonesia tidak berambisi memperluas wilayahnya dengan melakukan invasi ke negara sekitar, namun sebuah konsep kedaulatan negara yang tinggal didaerah pantai. Sehingga menjadikan Singapura sebagai negara otonom tanpa perlu khawatir adanya agresi dari negara Indonesia ataupun negara lain.
Selanjutnya melalui pertemuan-pertemuan bilateral, Presiden Soeharto tak henti-hentinya mengkampanyekan Konsep Wawasan Nusantara, di setiap kunjungan kenegaraan sahabat serta kunjungan Presiden sendiri ke negara-negara di dunia konsep ini terus diperkenalkan.
Pada tanggal 17 Maret 1970, sebagai implementasi gagasan Wawasan Nusantara yang telah dilakukan intensif diantara kedua negara maka dilakukan Penandatanganan Perjanjian Persahabatan dan Perjanjian Batas Laut teritorial Indonesia-Malaysia di selat malaka antara Presiden Soeharto dengan PM Malaysia Tunku Abdul Rahman. Bahkan kerjasama konkrit dilakukan antara Indonesia dan Malaysia berkaitan dengan pengamanan perbatasan Kalimantan-Serawak, diantaranya pelatihan Korps Tentara/Laskar Diraja Malaysia oleh ABRI berikut pengamanan terhadap kelompok-kelompok Komunis di daerah tersebut.
Hubungan bilateral yang erat juga dilakukan kepada negara sahabat Muangthai baik kerjasama bidang ekonomi, kerjasama perdagangan, pertanian, peternakan serta politik regional dan Internasional. Hingga pada tanggal 21 Maret 1972, kedua negara bersepakat dengan dikeluarkan Surat Keputusan No.21 tahun 1972 tentang persetujuan antara pemerintah RI dengan Muangthai tentang garis batas landas kontinen antara kedua negara. Garis batas landas kontinen ini terletak dibagian utara selat malaka serta Laut Andaman, yang dicapai atas persetujuan kedua negara pada tanggal 17 desemeber 1971. Batas-batas tersebut adalah garis lurus yang ditarik dari suatu titik yang koordinatnya adalah 60 21’ 8” LU, 970 54’ 0” BT menuju ke arah barat dengan koordinat 70 5’ 8” LU, 960 36’ 5” BT.
Hal yang sama juga diterapkan kepada negara tetangga Australia, hubungan bilateral yang intensif baik dibidang ekonomi maupun politik Regional maupun Internasional, dalam mewujudkan kesepakatan mengenai perbatasan menghasilkan keputusan no. 66 tahun 1972 mengenai penetapan garis batas dasar laut di daerah Laut Timor dan laut Arafuru. Persetujuannya sendiri telah ditandatangani di Jakarta 9 Oktober 1972 oleh menteri pertambangan Sumantri Brodjonegoro atas nama Pemerintah Indonesia dan Nigel Bowen atas nama Pemerintah Australia. 
Bahkan kepada negara yang memiliki jarak ribuan mil dari garis pantai, selama 1 jam Presiden Soeharto mengadakan pembicaraan dengan Shah Iran di Bina Graha pada tanggal 2 Oktober 1974,  mengenai masalah Internasional, Regional dan hubungan bilateral. Dalam pembicaraan itu dibahas mengenai konsep Wawasan Nusantara, dimana menurut Presiden Soeharto keamanan di Teluk Persia dan Samudera Indonesia semestinya dijamin oleh negara-negara yang berpantai dikedua wilayah lautan itu. 
Mengenai Timor Timur pun Presiden Soeharto telah membahasnya pada tanggal, 18 Oktober 1974, dengan Menteri urusan Koordinasi Portugis, Dr. Almeida Santos di Cendana mengenai rencana Portugis melakukan dekolonisasi wilayah itu. Kepada Santos, Presiden menegaskan tidak mempunyai niat untuk menjajah atau memperlebar wilayahnya. Namun demikian tidak dikesampingkan kemungkinan bergabungnya Timor Portugis dengan Indonesia, sebagai bentuk penentuan nasib sendiri bagi wilayah itu.
Demi mendukung konsep negara kepulauan/maritim tersebut, pada tanggal 1 Februari 1975, Menteri Perhubungan Emil Salim menghadap ke Presiden Soeharto di Bina Graha membahas mengenai penambahan 22 kapal dalam usaha pemerintah untuk meningkatkan armada laut, kapal-kapal tersebut merupakan sebahagian dari 25 kapal yang direncanakan untuk dibeli pemerintah dengan dana Rp. 10,2 Milyar. Investasi ini tidak kecil dibanding dengan keadaan ekonomi bangsa yang masih dalam tahap recovery dari krisis multidimensi yang parah.
Terhadap negara sahabat Filipina pun telah dilakukan kerjasama bilateral yang intensif, selain kerjasama dibidang ekonomi dan penelitian, komitmen persahabatan Indonesia ditunjukkan Presiden Soeharto dengan upaya mencari jalan tengah konflik Filipina Selatan dengan Serawak Malaysia. Pada tanggal 11 Maret 1975, Menhan Filipina Juan Ponce Enrile melakukan kunjungan ke Istana Negara, dalam rangka penandatangan perjanjian tentang perbatasan antara kedua negara yang dilakukannya dengan Menhankam/Pangab Jenderal M. Pangabean.
Disamping program-program Recovery ekonomi dan politik dalam negeri dilakukan, penegakan kedaulatan dengan melakukan hubungan bilateral serta kerjasama yang saling menguntungkan terus dilakukan. Termasuk kepada negara sahabat Papua Nugini, setelah melakukan komunikasi dan kerjasama yang intensif pada tanggal 13 Januari 1977, di Jakarta telah dikeluarkan komunike bersama antara pemerintah Indonesia Presiden Soeharto dengan PM Papua Nugini, Somare sepakat untuk mengambil langkah-langkah tindakan untuk menjamin supaya wilayah masing-masing tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang menentang kedaulatan negara. Hal ini merupakan kemajuan yang tidak main-main mengingat masih adanya kelompok separatis di Irian Jaya yang menolak tunduk dibawah NKRI.
Komitmen persahabatan dengan Papua Nugini ditunjukkan Presiden Soeharto tepatnya senin 4 Juni 1979, Presiden Soeharto mengunjungi Papua Nugini selama 3 hari, beserta rombongan antara lain Menkpolkam/Menlu a.i M.Panggabean, Menko Ekuin Widjojo Nitisastro dan Mensesneg Sudharmono. Dalam pembicaraan empat mata Presiden Soeharto dengan PM Somare menyepakati untuk menindak tegas terhadap imigran gelap yang memasuki masing-masing wilayah negara, terutama melalui perbatasan. Selain itu menyepakati kerjasama dalam bidang ekonomi dan perdagangan, juga memberikan petunjuk-petunjuk untuk pembangunan Papua Nugini.
Konsep Wawasan Nusantara dalam gagasan Presiden Soeharto tidak sekedar kedaulatan wilayah laut berikut perbatasannya dengan negara tetangga, namun meliputi wawasan pertiwi yang didalamnya meliputi ketahanan ekonomi, ketahanan politik dan keamanan serta sumber daya manusia. Pertumbuhan ekonomi pun dilakukan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi dibidang pertanian dan peternakan. Industri dari hulu dan hilir perlahan dikuasai dengan konsep alih tehnologi. Fasilitas pelabuhan, jalan, jembatan serta pelabuhan udara terus dibangun dan diperbaiki demi kelancaran distribusi pangan dan kebutuhan pembangunan.
Hubungan bilateral dan kerjasama dengan negara-negara luar negeri di pupuk dalam suasana persahabatan dan kekeluargaan. Presiden Soeharto pun tak segan-segan belajar dari kemajuan teknologi yang dimiliki negara sahabat untuk dapat diimplementasikan di dalam negeri.
Bahkan mengenai tehnologi mutakhir yang sebelumnya sudah dirintis sejak 5 Desember 1958 oleh pemerintahan Bung Karno, maka pada tanggal 1 Maret 1979, di Yogyakarta Presiden Soeharto meresmikan Reaktor Atom Kartini, reaktor atom ini dipergunakan sebagai sarana penelitian dan pendidikan ini dirancang dan dibangun oleh ahli-ahli dari Indonesia. 

Selanjutnya konsep Wawasan Nusantara tidak akan utuh tanpa kedaulatan kedirgantaraan.

Pada tanggal 4 November 1974, Ketua LAPAN, Marsda Salatun menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha mengenai hasil kongres ke-25 International Austronautical Federation yang berlangsung di Amsterdam. Dibicarakan mengenai kemungkinan-kemungkinan Indonesia untuk memproduksi satelit sendiri sebagai bentuk kemampuan Indonesia mandiri dalam bidang High Tech serta mewujudkan kedaulatan Wawasan Nusantara dalam bidang kedirgantaraan.
Selanjutnya pada tanggal 16 Agustus 1976, menjelang peringatan 31 tahun Indonesia merdeka, Presiden Soeharto meresmikan penggunaan  SKSD Palapa, ditandai dengan melakukan pembicaraan jarak jauh dengan Gubernur Aceh Muzakir Walad dan Gubernur Irian jaya Sutran. Satu minggu berikutnya pada hari Senin 23 Agustus 1976, Presiden Soeharto meresmikan industri pesawat terbang Indonesia yang pertama yang diberi nama Industri Pesawat Terbang Nurtanio.
Sementara konsep Wawasan Nusantara dirumuskan untuk dijadikan pedoman Hukum Laut Internasional, Mochtar Kusumaatmadja yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman berjuang di PBB. Konferensi Hukum Laut di New York pada tahun 1977 membuahkan hasil yang menggembirakan, dalam laporannye kepada Presiden Soeharto, Mochtar menyampaikan konsep Wawasan Nusantara diterima oleh semua delegasi, bahkan negara adidaya Amerika Serikat yang mewakili blok barat dan Uni Soviet yang mewakili blok timur menyatakan setuju dengan konsep dan gagasan Wawasan Nusantara ini. Dan Pada akhirnya Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) menjadi tonggak diakuinya konsep Presiden Soeharto secara Internasional.
———————————————————–
Senin, 4 Mei 2015
Penulis : Gani Khair
Fotografi : Dokumen Resmi HM.Soeharto 
Editor : Sari Puspita Ayu
———————————————————–
Lihat juga...