Merupakan kelompok-kelompok pragmatis —-pelaku ekonomi, politisi maupun elit pemerintahan yang sebenarnya diuntungkan oleh pemerintahan Orde Baru— namun dihinggapi kekawatiran eksistensinya tereliminasi dalam tatanan politik pasca kepemimpinan Presiden Soeharto. Arus besar tekanan kelompok-kelompok kepentingan internasional yang bersisiran dengan agenda pengusung rehabilitasi nama baik PKI dan menumpang agenda kalangan reformis, telah mendorong pada suatu titik dimana rotasi kepemimpinan nasional harus dilakukan dengan segera. Momentum ini dimanfaatkan kalangan avonturir untuk mencitrakan dirinya sebagai bagian kelompok reformis dan secara gencar turut serta mendiskreditkan Presiden Soeharto beserta kebijakan-kebijakannya agar tetap memperoleh tiket dalam tatanan baru paska pemerintahan Presiden Soeharto.
Kalangan avonturir —dengan motif untuk mencari aman ini— memiliki kontribusi besar dalam mereproduksi stigmatisasi negatif terhadap diri pribadi Presiden Soeharto, karena keberadaanya dalam lingkungan sistem, sehingga bisa melakukan pembusukan dari dalam. Sebagian dari mereka yang terkategori dalam kelompok ini dapat diidentifikasi sebagai pelaku pelarian modal negara/ penyimpan uang ke Singapura maupun para pejabat dan elit politik yang tersandung kasus-kasus hukum dan terbongkar pada era reformasi.
Kalangan Reformis
Merupakan kelompok kritis —dimotori kalangan intelektual seperti Dr. Nucholis Madjid, Amin Rais dan Gus Dur— yang menginginkan tatanan politik lebih terbuka sehingga kemerdekaan partisipasi politik rakyat dapat diwujudkan secara maksimal. Politik stabilitas melalui pembatasan partai politik dan kebijakan dwifungsi ABRI serta sentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dinilai kalangan reformis memiliki kerawanan untuk dimanipulasi kalangan-kalangan tertentu sebagai alat pembungkaman kemerdekaan partisipasi politik rakyat.
Tulisan Jun Honna dalam sebuah buku berjudul “Serdadu Memburu Hantu: Ideologi Kewaspadaan di Senjakala Kekuasaan Orde Baru” memberikan gambaran adanya faksi-faksi kuat dalam tubuh ABRI —setidaknya sejak dibubarkannya Kopkamtib pada bulan September tahun 1988— yang menggunakan isu-isu politik BALATKOM (Bahaya Laten Komunisme) sebagai instrumen black campaign untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Sebagai contoh adalah black campaign Benny Murdani terhadap Soedarmono —Wakil Presiden pilihan Presiden Soeharto— dengan tuduhan terlibat dalam organisasi Komunis pada awal tahun 1960-an . Gerakan-gerakan Benny Murdani —seorang kaisar Intelejen sekaligus kepercayaan Presiden Soeharto yang akhirnya berseberangan— terus berlanjut hingga Presiden Soeharto mengundurkan diri pada tahun 1998. Fenomena itu memunculkan analisis sebagian kalangan, bahwa selain agenda kalangan reformis sendiri, pembiaran Presiden Soeharto terhadap kritisisme tokoh-tokoh reformis seperti Nurcholis Madjid, Amin Rais dan Gus Dur merupakan skenario dalam menciptakan
“bandul penyeimbang politik” atas langkah-langkah kalangan ABRI tertentu (Benny Murdani, dkk) yang tidak dikehendaki oleh Presiden Soeharto sebagai pelanjut estafet kepemimpinan bangsa.
Agenda kalangan reformis sebenarnya merupakan pra kondisi terwujudnya rotasi kepemimpinan nasional paska Presiden Soeharto, sekaligus menyiapkan konsep perubahan sistem penyelenggaraan negara yang lebih akomodatif terhadap tuntutan perkembangan zaman. Berbeda dengan kelompok-kelompok kepentingan internasional dan pengusung agenda rehabilitasi nama baik PKI, kalangan reformis tidak bermaksud melakukan perlawanan dan mengusung agenda pendeskreditan atau mengadili Presiden Soeharto. Agenda kalangan reformis menekankan pada upaya pengelolaan perubahan (manajemen transisi) penyelenggaraan negara setelah melihat keniscayaan akan berakhirnya kepemimpinan Presiden Soeharto . Selain itu, kalangan reformis juga mengusung agenda perubahan sistem penyelenggaraan negara agar lebih desentralistis dan penguatan civil society sesuai dengan mainstream demokratisasi yang berkembang pada saat itu.
Patut disayangkan agenda manajemen transisi dan perubahan sistem penyelenggaraan negara yang diusung kalangan reformis dibajak dan dimanfaatkan kelompok-kelompok kepentingan internasional, pengusung rehabilitasi nama baik PKI maupun kalangan pragmatis untuk memuluskan agenda pragmatisnya masing-masing. Mundurnya Presiden Soeharto menyebabkan krisis politik berkepanjangan sehingga skenario manajemen transisi yang diusung kalangan reformis tidak berjalan mulus dan agenda reformasi nyaris berjalan tanpa road map. Maraknya instabilitas, gerakan separatis, rusaknya sistem dan infrastruktur ketahanan pangan, tingginya biaya hidup rakyat, merosotnya pertumbuhan ekonomi (mencapai minus 13% pada tahun 1998) serta runtuhnya wibawa bangsa di hadapan bangsa-bangsa lain mewarnai perjalanan gerakan reformasi. Suatu situasi yang sudah barang tentu tidak diinginkan kalangan reformis, akan tetapi pendukung agenda ini tidak memiliki daya kendali untuk mengatasinya. Kalangan reformis kalah cepat jika dibandingkan dengan manuver kelompok-kelompok kepentingan internasional, pengusung rehabilitasi nama baik PKI maupun kalangan pragmatis dalam merealisisasikan agendanya masing-masing