Tren
- Akhir Tahun: Pejabat Kosong
- Menteri Luar Negeri Sugiono Serah Terimakan Enam Objek Diduga Cagar Budaya kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon
- Pengurus HKTI Jabar Dilantik, Inilah Delapan Prioritas untuk Petani Jawa Barat
- Kepemimpinan Islam Tanpa Perang dan Kekerasan
- Menteri Kebudayaan: Situs Warisan Budaya Harus Hidup dan Dinamis Berdasarkan Riset
- Gus Miftah, Standar Baru Kabinet
- UNESCO Akui Kolintang Resmi Jadi Warisan Budaya Takbenda ke-16
- Pilkada Jakarta 2024: Redupnya “Masyarakat Rasional” ?
- Menteri Kebudayaan: JAFF Market Awal Baru Pasar Film Indonesia
- Tingkatkan Kesejahteraan Nelayan Bantul, Titiek Soeharto Gelar Bimtek Kewirausahaan
CENDANANEWS (Mengenal Jenderal Besar HM.Soeharto) – Prestasi ekonomi nasional dibawah Pemerintahan Presiden Soeharto sungguh mendapat apresiasi dari negara-negara dunia, bahkan Bank Dunia menjadikan Indonesia sebagai negara rujukan bagi negara-negara miskin dan berkembang untuk memulihkan perekonomiannya. Hingga pemerintahan setelahnya, prestasi ekonomi yang dicapai pada masa Orde Baru masih belum mampu setidaknya menyamai rekor tersebut.
Karakteristik pembangunan makroekonomi zaman pemerintahan Presiden Soeharto antara lain, inflasi yang terkendali, iklim investasi yang terus meningkat, dan pertumbuhan ekonomi spektakuler. Berdasarkan data dari Bank Dunia, antara tahun 1966 sampai 1997 PDB per-kapita rata-rata naik 5,03% per-tahun. Pada tahun 1990 PDB perkapita Indonesia dua kali lipat lebih tinggi dari RRC.
Percepatan pertumbuhan ekonomi ini tak terlepas dari strategi diversifikasi produksi, perluasan lapangan kerja, dan peningkatan ekspor. Pada tahun 1966 produksi, lapangan kerja dan ekspor bertumpu pada sektor pertanian dan minyak bumi. Sementara sektor manukfaktur kurang dari 10% dari PDB, bahkan ekspor hasil manufaktur belum ada sama sekali.
Hingga tahun 1996 sektor manufaktur meningkat hingga menjadi 26% dari PDB, atau setidaknya meningkat 14 kali lipat dari US$ 4,4 milyar menjadi US$ 57,33 milyar sejak masa awal Orde Baru. Pada tahun 1993 ekspor dari sektor manufaktur, konstruksi, dan tambang mencapai 53% dari keseluruhan total ekspor nasional.
Sarana dan prasarana yang dibangun pada masa Orde Baru menjadikan Indonesia eksportir terbesar di Asia Timur dalam bidang industri makanan dan minuman, tembakau, garmen, kayu olahan dan kertas.
Pertumbuhan ekonomi yang mantap pada masa Orde Baru dengan rata-rata di atas 7% setiap tahunnya menjadikan Indonesia surga bagi investor untuk menanam modalnya di Indonesia. Kebijakan investasi ini juga dilakukan Presiden Soeharto dengan mempertimbangkan keuntungan jangka panjang bagi Bangsa Indonesia, antara lain dengan kebijakan Foreign Direct Investment, investor-investor asing dapat langsung menanamkan modalnya pada sektor-sektor manufaktur dengan tujuan alih teknologi sehingga dalam jangka waktu tertentu kepemilikan perusahaan itu beralih menjadi Badan Usaha Milik Negara, bukan justeru privatisasi dimana usaha milik negara dijual kepada pemilik modal.
Iklim investasi pun dijaga sedemikian rupa sehingga masyarakat lapisan bawah justeru tidak tersingkir dengan strategi “Bapak Angkat” dimana pengusaha kecil dan menengah dijadikan partner dalam proses produksi dengan istilah “Plasma”.
Proses industri diarahkan menyerap tenaga kerja sehingga memunculkan istilah “padat karya”, industri-industri didorong untuk menyerap tenaga kerja yang berasal dari perguruan-perguruan tinggi dengan program “link and match”, dalam sektor pertanian dan perkebunan dikenal dengan istilah “Perkebunan Inti Rakyat”, “Tambak Inti Rakyat”, selain program “landreform” ala transmigrasi.
Percepatan pertumbuhan dan diversifikasi sektor ekonomi Indonesia yang spektakuler pada masa pemerintahan Orde Baru berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 90% pada masa tahun 1960-an menjadi 60% pada tahun 1970 hingga tinggal 11% pada tahun 1997. Oleh sebab itu pada tanggal 8 September 1997 Presiden Soeharto menerima penghargaan dari UNDP dalam mengentaskan masalah kemiskinan. Namun hal yang tak kalah pentingnya indeks Koefisien Gini pada angka moderat 0.32 – 0.36. Indeks Koefisien Gini merupakan ukuran ekonomi dalam menilai ketimpangan pendapatan masyarakat, dimana nilai kurang dari 0,3 mencerminkan pemerataan pendapatan disemua lapisan masyarakat, bila semakin tinggi dari 0,3 ketimpangan ekonomi atau penyebaran pendapatan terhadap populasi penduduk semakin timpang (bandingkan pada tahun 2014 indeks Gini mencapai 0.42).
Prestasi ekonomi pemerintahan Presiden Soeharto pada masa Orde Baru ditandai dengan swasembada beras pada tahun 1984, sehingga Food and Agriculture Organization (FAO)pada tahun 1985 memberikan penghargaan Internasional kepada Presiden Soeharto serta mencetak koin yang bergambar petani di satu sisi dan gambar Presiden Soeharto di sisi lainnya untuk dijual lalu hasilnya disumbangkan bagi negara-negara yang dilanda kelaparan.
Strategi yang dilakukan untuk mewujudkan swasembada pangan ini meliputi intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Presiden Soeharto mengerahkan para akademisi untuk melakukan penelitian dengan teknologi yang mutakhir diantaranya dihasilkan berbagai jenis bibit unggul yang menghasilkan tanaman tahan hama, produktif, masa panen singkat dan nilai gizi yang baik.
Sarana dan prasarana untuk mendukung produksi pertanian dilakukan dengan membangun bendungan-bendungan serbaguna, pembangunan pabrik pupuk dijadikan prioritas, bahkan Presiden Soeharto berhasil melobi negara-negara ASEAN dengan mendirikan pabrik pupuk ASEAN di Aceh yang diresmikan pada tahun 1984. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, negara Indonesia menjadi salah satu negara penghasil pupuk terbesar di dunia.
Selain itu untuk melindungi petani, pemerintah menjaga harga pangan agar stabil sehingga harga tidak dimainkan spekulan dengan melakukan intervensi pasar melalui peran BULOG. Petani juga diberi kemudahan untuk mendapatkan pupuk, harga 1 sak pupuk diupayakan sebanding dengan harga sekilo beras. Kemudahan untuk mendapatkan modal usaha dilakukan dengan menggalakkan kredit untuk petani dan usaha kecil. Peran BUUD/KUD serta koperasi simpan pinjam seperti Kredit Candak Kulak dan sejenisnya diberdayakan disamping program BIMAS dan INSUS.
Dalam mengendalikan pertumbuhan penduduk, program Keluarga Berencana di gagas Presiden Soeharto sejak tahun 1967 berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk dari 5,57% pada tahun 1966 menjadi 2,75% pada tahun 1996. Atas keberhasilan ini Presiden Soeharto mendapat penghargaan “United Nation Population Award” dari PBB pada tahun 1989, disamping penghargaan “Global Statement Award” dari Population Institute serta pada tahun 1992, BKKBN sebagai lembaga pemerintah non departemen mendapatkan penghargaan “Management Development Award” dari lembaga manajemen internasional.
Upaya dalam menghambat laju pertumbuhan penduduk ini bukan hal yang mudah bagi negara yang mayoritas menganut agama Islam. Untuk itu Presiden Soeharto melalui lembaga BKKBN melakukan pendekatan kepada alim ulama, cendekiawan serta tokoh-tokoh masyarakat setempat dalam rangka sosialisasi program Keluarga Berencana ini.
Untuk meningkatkan sumber daya manusia Presiden Soeharto melakukan langkah yang tak main-main. Pada tahun 1973 dikeluarkan Instruksi Presiden pembangunan Sekolah Dasar yang dikenal dengan SD Inpres, dimana setiap tahunnya dibangun tidak kurang dari 6000 gedung SD baru lengkap dengan berbagai fasilitas dan tenaga pengajar. Pada tahun 1983 tercatat 90% anak usia sekolah memasuki jenjang pendidikan dasar. Ditambah lagi dengan rekrutmen guru-guru baru pada tahun 1978 saja sudah mencapai 300.000 orang.
Presiden Soeharto juga sangat memperhatikan kualitas generasi penerus dengan mengkampanyekan makanan bergizi dengan slogan “empat sehat lima sempurna” yaitu makanan pokok yang dilengkapi dengan lauk pauk berprotein tinggi dan serat. Juga mengkampanyekan olah raga yang terkenal dengan slogan “memasyarakatkan olahraga dan meng-olahragakan masyarakat”. Sebab tidak sekali Presiden Soeharto menyuarakan agar bangsa kita tidak menghasilkan generasi yang lembek baik secara fisik maupun intelektual.
Menjadi “macan Asia” pada masa Orde Baru bukanlah isapan jempol belaka, dua pilar pertumbuhan dan pemerataan ekonomi atau konsep “Trilogi Pembangunan” (Stabilitas, Pertumbuhan, Pemerataan) pada negara yang berpenduduk terbesar nomor 4 di dunia bukanlah pekerjaan mudah. Sejak tahun 1960-an sampai akhir masa jabatannya setidaknya ada pertambahan 100 juta penduduk yang telah diberikan lapangan pekerjaan oleh Presiden Soeharto, hal ini merupakan prestasi yang belum tertandingi. Konsep dan kebijakan pembangunan Presiden Soeharto selalu mementingkan kepentingan Nasional jangka panjang. Sistem politik dan ekonomi pada masa Orde Baru benar-benar berdiri atas dasar ideologi Pancasila sebagai satu-satunya ideologi bangsa Indonesia yang mandiri.
Sebab kemandirian bangsa ini bukan hanya sekedar slogan namun dari usaha yang terus menerus dan menyeluruh.
———————————————————
Minggu, 17 Mei 2015
Penulis : Gani Khair
Editor : Sari Puspita Ayu
———————————————————
Lihat juga...