Bukti Nasionalisme Orang Maluku untuk NKRI


AMBON — Pada 17 Agustus 1945 atau 70 tahun silam, Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia Diproklamirkan oleh Presiden pertama RI dan Wakil Presiden RI Soekarno – Mohamad Hatta bersama kawan-kawan, sekaligus dilaksanakan Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih.
Indonesia skala umum, kita hanya mengenal Fatmawati (isteri Presiden RI Pertama Alm. Soekarno), selaku penjahit Sang Saka Merah Putih. Di Maluku hal yang sama juga dilakukan oleh perempuan yang juga pejuang membela NKRI.
Kapan pertama kali bendera Merah Putih dikibarkan di langit Maluku?. Tepatnya pada 27 Desember 1949 bertempat di Negeri (Desa) Hitu Messing Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan atas jasa para pejuang menjaga kedaulatan NKRI di Maluku, khususnya masyarakat di Jazirah Leihitu, Pulau Ambon Maluku, tanggal 27 Desember ini dijadikan sebagai hari bersejarah dengan melaksanakan upacara pengibaran bendera Merah Putih.
Dimana pada 27 Desember 1949 atau 66 tahun silam, perdana dikibarkannya bendera merah putih di provinsi yang kental dengan budaya pela dan gandongnya tersebut.
Mengapa pengibaran merah putih di Maluku baru dilakukan pada 27 Desember 1949? 
Konon, Negeri Hitu Messing kala itu adalah Bandar Pelabuhan central di wilyah Maluku. Satu-satunya pelabuhan penyeberangan yang menghubungkan semua wilayah di tanah para raja-raja itu, dianggap tepat untuk dikibarkannya bendera Pusaka Merah Putih, sekaligus mempertegas pengakuan Maluku menjadi bagian dari NKRI merujuk KMB Deen Haag, dimana Belanda mengakui Kedaulatan NKRI.
Alasan lain, proses pengibaran bendera Merah Putih di Negeri Hitu Messing baru dilakukan pada 27 Desember 1949 sebab saat itu para pejuang dari semua Negeri yang ada di jazirah Leihitu selesai menurunkan Bendera Belanda di Batu Gajah kota Ambon, Maluku.
Siapa Penjahit Merah Putih di Maluku?
Tidak semua orang di Maluku khususnya dan Indonesia umumnya mengetahui hal ini.
Ada beberapa versi terkait hal ini. Penyulam atau penjahit bendera Merah Putih hingga dikibarkan di Negeri Hitu Messing, Maluku pada 27 Desember 1949 adalah Djaleha Saulatu. Perempuan asal Negeri Awal Wakal, Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Uniknya, bahan yang digunakan oleh Srikandi Maluku itu menggunakan daun Nenas yang dikeringkan dan diambil urat daunnya dijadikan benang untuk menjahit dua warna yang kini menjadi simbol kebanggan NKRI tersebut.
Proses pembuatan Sang Saka Merah Putih oleh Djaleha Saulatu, disaksikan sekaligus dikawal oleh para pejuang yang mengusir penjajah di Maluku demi kemerdekaan NKRI antara lain, M. Taib Mahu (asal Negeri Ureng). M. Qasim Maruapey (asal Negeri Tengah), dan W. Reawaru (Asal Negeri Waai).
Termasuk disaksikan oleh seluruh masyarakat Negeri Awal Wakal, serta perwakilan dari Negeri-Negeri lain.
27 Desember 1949, Djaleha Saulatu menyelesaikan karyanya. Selanjutnya, pada 27 Desember 1949 itu juga, rombongan membawa Pusaka Merah Putih yang dijahit Djaleha Saulatu dari Negeri Awal Wakal ke Negeri Hitu Messing.
Diringi dengan Cakalele (Tarian Khas Maluku), dipimpin Abdul Rajab Patta Kapitan Negeri Awal Wakal, serta dikawal para pejuang yang hadir saat itu.
Djaleha Saulatu memangku pusaka Merah Putih hasil karyanya itu didampingi Onya Suneth, dalam iring-iringan bersama rombongan.
Saksi sejarah berharga ini adalah Nenek Safia Mahu (Anaknya M. Taib Mahu) yang turut bersama rombongan kala itu dari Desa Awal Wakal ke Negeri Hitu Messing, untuk upacara pengibaran Merah Putih. 
Veteran Jazirah Leihitu, TNI, Polri dan masyarakat dengan semangat menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu perjuangan lainnya sebagai bentuk peringatan pengakuan kedaulatan NKRI dari Belanda di Den Haag. Asal tahu saja, pada 27 Desember 1949 hanya ada penaikan merah putih di tiga lokasi, yaitu di Maluku tepatnya di Negeri Hitu Messing, Yogyakarta dan di Belanda.
17 Agustus 1945 NKRI memang sudah merdeka. Tapi atas hasutan Belanda juga terjadi rongrongan dibeberapa wilayah di Indonesia kala itu termasuk di Maluku.
Perjuangan rakyat Maluku demi mempertahakan kemerdekaan NKRI terus berlanjut.
Dari literatur sejarah yang dipaparkan sesuai catatan sejarah Legion Veteran Republik Indonesia (LVRI) Provinsi Maluku dan Ranting LVRI Leihitu yang biasanya dibagikan saat upacara, disebutkan, para pemuda Maluku bersikap tetap pro kemerdekaan NKRI.
Bentengnya, sebagian besar para pemuda di Maluku membentuk Partai Indonesia Merdeka atau PIM. Partai ini dijadikan perahu guna membela atau tetap mempertahankan kemerdekaan NKRI.
Namun di Kota Ambon dan sekitarnya sebagian kelompok kecil juga membentuk Partai Timur Besar atau PTB, yang gerakannya kontra revolusi. Mereka yang tergabung di PTB, tak lain adalah para antek penjajah.
Dimotori DR Chris Soumokil (Putra asal Desa Booi Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah) ini, dan kawan-kawan ingin membentuk negara sendiri. Negara versi Soumokil cs itu diberi nama Republik Maluku Selatan atau RMS.
Diketahui ide dibentuknya Negara RMS oleh DR Chris Soumokil dan kawan-kawan, mendapat perlawanan dari sebagian besar pejuang di Maluku yang pro NKRI.
Kala itu, DR Chris Siumokil dan kawan-kawan bekerjasama dengan penjajah Belanda termasuk memanfaatkan sebagian tenaga misalnya Baret Merah, Baret Hijau dan KNIL dan KNIL mereka yang masih aktif yang masih aktif direkrut masuk menjadi tentara RMS.
Namun bukti nasionalisme sebagian besar para pejuang di Maluku yang notabenenya para pemuda tetap berjuang mempertahankan kemerdekaan NKRI yakni menentang gerakan Soumokil dan kawan-kawan.
Sebagai buktinya jelang Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda tak lain pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Dengan diberikan kesempatan untuk para pejuang mengibarkan bendera merah putih.
Momentum bersejarah ini dimanfaatkan oleh para pejuang di Maluku yang mempertahkan keudaulatan NKRI itu dengan tanda menggelar upacara pengibaran merah putih di Negeri Hitu Messing.
Mengutip berbagai literatur, ada perbedaan versi tentang penaikan bendera Merah Putih pertama di Maluku termasuk penjahitnya.
Komandan Pemuda Barisan Leihitu, Muhamat Slamet mengatakan, ayahnya bersama pasukannya (Para pejuang asal Leihitu dan Pulau Ambon, Maluku) menggelar kongres di kawasan Waehaong Kota Ambon.
Hasil kongres ini disepakati lokasi pengibaran merah digelar di Negeri Hitu Messing Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Dengan dalil, kala perjuangan melawan penjajah di Kota Ambon, Legion Veteran asal Leihitu jumlahnya lebih banyak dibanding daerah lain di Maluku.
Soal siapa penjahit bendera Merah Putih hingga dikibarkan pada 27 Desember 1949 di Negeri Hitu Messing sesuai data LVRI menyebutkan, bendera dengan ukuran 226 x 143 centimeter itu dijahit tangan oleh seorang pejuang perempuan Maluku yaitu Jainab Pelu (isteri dari mantan Raja Negeri Hitu Messing).
Sedangkan menurut Abdurahman Slamat/Pelu (Anak dari Muhamat Slamat) selaku Komandan Barisan Pemuda Leihitu, menyebut kakak mantan Raja Hitu Messing, Abdul Gafar Slamat yakni Onya Slamat yang menjahit bendera tersebut dengan tangan.
Hingga kini benderanya masih disimpan pada sebuah peti kayu jati di rumah Raja Hitu Messing. Salah satunya, Abdurahman Slamat/Pelu (anak dari Muhamat Slamat) juga menyebut, literatur terkait perjuangan ayahnya bersama pasukannya yang ditulis oleh Osamamri dengan menggunakan mesin ketik masih disimpan dengan rapi.
Sumber dari LVRI menyebutkan, rapat penentuan lokasi untuk pengibaran merah putih digelar di Desa Tulehu Kabupaten Maluku Tengah.
Sejak dinaikan pertama kalinya pada 27 Desember 1949, Merah Putih di Hitu Messing itu tidak dikibarkan secara rutin selama 40 tahun (1949-1989).
Diprakarsai salah seorang cucu dari Muhamat Slamat, yaitu Hasan Slamat kembali menggelar upacara pengibaran merah putih kembali dilakukan di Hitu Messing pada 1990 bertepatan dengan momentum peresmian tugu perjuangan. Tapi pengibaran merah putih tua itu berhenti pada 1999 hingga 2004 saat konflik horizontal melanda Maluku.
Pada 2006 (pasca konflik Maluku), Merah Putih tua yang kini masih disimpan di rumah Raja Hitu Messing itu kembali dikibarkan.
Pada 2012 lalu, mantan Pangdam XVI Pattimura, Mayjen Eko Wiratmoko menjadi inspektur upacara. Hingga 27 Desember 2014 (tahun kemarin) masyarakat Keihitu juga menggelar upacara pengibaran merah putih.
Ironisnya, dari perjuangan membela dan mempertahankan NKRI di Maluku mengorbankan nyawa, tak semua mantan pejuang/veteran Jazirah Leihitu memetik hasilnya. Sebagian ada yang dapat bantuan dari pemerintah, sebagiannya tidak pernah disentuh.
Bahkan mereka ada dalam daftar yang diangkat dan didaftarkan di Mabes TNI, tapi para pejuang yang mempertahankan NKRI sejak tahun 1937, terkesan dicuekin oleh Pemerintah RI.
Untuk mengenang dan menghargai jasa perjuangan para pejuang Leihitu dan Maluku demi Kemerdekaan NKRI, maka setiap 27 Desember masyarakat Leihitu menggelar upacara pengibaran Merah Putih.
Dari Maluku untuk Indonesia. M E R D E K A 

RABU, 19 Agustus 2015
Penulis       : Samad Vanath Sallatalohy
Foto            : Samad Vanath Sallatalohy
Editor         : ME. Bijo Dirajo
Lihat juga...