Rantok, Menumbuk Padi Tradisional yang Mulai Terpinggirkan

Beberapa ibu – ibu dari masyarakat KSB nampak sedang memainkan tradisi memukul rantok saat menyambut Komisioner Komnas HAM beberapa waktu lalu
SUMBAWA BARAT — Pada sebagian masyarakat suku Samawa, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, khususnya yang tinggal di daerah pinggiran dan pedalaman, untuk mendapatkan beras yang dimasak setiap hari bersama keluarga, masih dilakukan dengan cara tradisional, yaitu menumbuk padi menggunakan rantok.
“Rantok sendiri merupakan sejenus kayu besar memanjang yang dilobangi dengan kedalaman lubang sekitar 30 sampai 60 centimeter sebagai tempat menumbuk padi menggunakan kayu bulat memanjang, sebesar kaki orang dewasa, untuk mendapatkan beras,” kata Marni warga satuan permukiman empat, Desa Talonang KSB, Minggu (1/11/2015)
Dikatakan, menumbuk padi menggunakan rantok pada sebagian masyarakat pinggiran dan pedalaman KSB umumnya banyak dilakukan kaum ibu – ibu saat musim panen padi telah selesai dan padi yang ditumbuk menggunakan rantok biasanya padi yang ditanam di ladang, perbukitan dan pegunungan.
Padi yang ditanam di ladang, perbukitan dan hutan tersebut, oleh masyarakat KSB biasa disebut pare rau yaitu padi yang ditanam dari hasil membuka lahan dihutan.
Menumbuk padi menggunakan rantok biasanya dilakukan secara gotong royong oleh para ibu – ibu, dimana padi yang sudah mengering dan dipetik bersama batangnya dimasukkan ke dalam rantok, kemudian ditumbuk secara bergiliran oleh lima sampai enam orang.
Aksi ibu – ibu menumbuk padi menggunakan rantok secara bergiliran tersebut kemudian menghasilkan irama nada yang sangat bagus. Tidak heran kemudian, menumbuk padi menjadi beras menggunakan rantok juga kerap ditampilkan pada festival budaya atau ritual masyarakat adat.
“Menumbuk padi menggunakan rantok, tidak saja digunakan sekedar dilakukan untuk mendapatkan beras, tapi banyak ditampilkan Pemda KSB pada acara festival budaya atau upacara adat, karena irama suara yang dihasilkan bagus,” katanya.
Umniatun, masyarakat adat Talonang KSB lain menyebutkan, meski mesin penggiling padi telah banyak tersedia, namun tradisi menumbuk padi pada sebagian masyarakat KSB masih tetap dilakukan, karena diyakini lebih membawa berkah daripada menggunakan mesin penggiling.
“Tapi seiring perubahan zaman, dan kemajuan teknologi, tradisi menumbuk padi oleh masyarakat, khususnya generasi muda mulai ditinggalkan dan lebih banyak memilih menggunakan mesin penggiling padi, kalaupun sekarang masih ada, hanya banyak dilakukan masyarakat pedesaan,”katanya.
MINGGU, 01 November 2015
Jurnalis       : Turmuzi
Foto            : Turmuzi
Editor         : ME. Bijo Dirajo
Lihat juga...