Mengenal Lebih Dekat Kebudayaan Papua di Anjungan TMII

KAMIS, 24 MARET 2016
Jurnalis : Miechell Koagouw / Editor : Fadhlan Armey /  Sumber Foto: Miechell Koagouw

TMII JAKARTA — Provinsi Papua (Irian Jaya sebelum pemekaran Papua Barat) Taman Mini Indonesia Indah (TMII) memiliki replika rumah adat Biak bernama Rumseram (rumah laki-laki) yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa menjadi Kantor Pengelola Anjungan Papua TMII. Sedangkan di sisi kiri pintu masuk terletak rapih replika pemukiman suku Dani Lembah Baliem yang bernama Sili. Area Sili (seperti aslinya) dilengkapi dengan tumpukan batu ditengah area sebagai tanda upacara bakar batu milik suku Dani yang sudah terkenal hingga ke mancanegara tersebut.
Diorama Perahu Suku Asmat dengan delapan orang pendayung diatasnya
Bangunan utama dari Anjungan Papua adalah Rumah tradisional bernama Kariwari dari suku Tobati-Enggros. Bangunan berbentuk kerucut tinggi keatas ini dikelilingi danau buatan dengan diorama perahu asmat yang dinaiki oleh delapan orang pria suku asmat. 
Didalam bangunan dua lantai tersebut pengunjung dapat melihat berbagai macam replika sampai benda-benda asli suku-suku yang berdiam di Papua yang dikirim langsung dari tanah papua. Salah satu benda asli itu adalah ‘Mbis’ atau patung arwah milik suku asmat. Patung ini juga dapat ditemui penumpang pesawat udara yang baru mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng. Patung setinggi kurang lebih lima meter ini merupakan karya asli ukiran suku asmat yang didatangkan langsung dari daerah asalnya oleh pengelola anjungan papua TMII.
“Suku Biak, juga memiliki perahu yang menjadi ciri khas nya, yaitu perahu perang yang dinamakan ‘wairon’ dan perahu dagang yang disebut ‘Mansusu’, namun anjungan papua belum memilikinya, justru museum budaya Indonesia di Belanda yang memilikinya,” papar Dorothea, pemandu wisata anjungan provinsi papua TMII kepada Cendana News.
Apabila berbicara mengenai seni ukir di Papua, maka hanya ada lima suku besar yang menghasilkan ukiran-ukiran, yakni Suku asmat, Kamoro, Sentani, Biak, dan Serui. 
Ciri khas ukiran asmat adalah ukirannya besar bersusun dan terawang atau tembus pandang/bisa disentuh luar dalam dari berbagai sisi. Permainan warna yang digunakan juga adalah hanya putih, hitam, dan merah. Untuk Suku Biak dan Serui, ukirannya cenderung kecil-kecil atau lebih detail dengan permainan warna yang bermacam-macam penggabungan warna. Sentani memiliki ciri khas ukiran bermotif hewan, sebagai contoh alat musik tifa milik suku Sentani bentuknya lebar, pendek, serta memiliki pegangan tangan berbentuk ukiran hewan kadal. Sedangkan untuk suku kamoro cenderung sama dengan asmat dikarenakan hubungan kedua suku ini sangat erat.
“Asmat dan kamoro itu ibarat kakak dengan adik namun mereka hanya dipisahkan oleh area untuk mencari makan saja (berburu dan mencari dedaunan atau sagu untuk konsumsi). Dan suku kamoro inilah yang berdiam disekitar freeport sekarang,” demikian Dorothea melengkapi penjelasan mengenai suku kamoro kepada cendana news.
Beragam ukiran, motif kain, senjata tradisional, miniatur pemukiman suku-suku di papua, sampai hiasan burung kasuari yang diawetkan ada di lantai satu bangunan utama anjungan papua TMII. 
Rumah pohon suku Kombay-Koroway, yang dapat disaksikan pengunjung bersebelahan dengan replika-replika wanita suku dani bersama anaknya. Suku asmat dulunya adalah berciri fisik pendek dengan kulit yang sangat gelap dikarenakan tinggal dipegunungan dan hutan. Hal ini tercermin dari diorama patung-patung prajurit asmat yang ditampilkan di tiap sisi ruangan anjungan. Tidak kalah menarik adalah benda-benda tradisional milik suku dhani berikut mahkota kepala suku dhani yang berhias bulu burung kasuari dapat dijadikan obyek dokumentasi fotografi menarik oleh pengunjung.
Ragam ukiran kayu serta replika benda tradisional khas Papua di Anjungan Provinsi Papua TMII
Naik ke lantai dua bangunan utama anjungan papua, pengunjung akan semakin terperangah dengan segala keunikan ciri khas kehidupan masyarakat atau suku-suku di Papua yang sangat tradisional. Salah satunya adalah diorama upacara inisiasi pendewasaan dimana setiap anak laki-laki tradisional Papua diusia akil balik (13-14thn) dipisahkan dari orangtuanya, kemudian digembleng fisik maupun mental hingga menjadi pemuda dewasa yang gagah berani dan tangguh. Tata laksana upacara ini adalah dua orang dukun dengan topeng menyeramkan, menelungkupkan seorang anak remaja laki-laki papua kemudian melukai punggungnya dengan kayu tajam kemudian disembuhkan lagi dengan obat tradisional. Makna simbolis dari upacara ini adalah, darah yang keluar dari anak remaja tersebut ibarat mengeluarkan nyawa masa kanak-kanaknya. Obat-obatan berikut mantera dari dukun untuk menyembuhkan adalah sebagai tanda memasukkan jiwa baru kedalam diri anak tersebut. Sedangkan topeng yang dikenakan para dukun adalah sebagai penguji mental keberanian seorang laki-laki. Disisi diorama prosesi inisiasi kedewasaan, terdapat diorama seorang ibu memasukkan jimat kepada seorang anak kecil yang baru bisa berjalan dengan tujuan memberikan kekebalan menghindari roh jahat, penyakit, serta malapetaka. Disini sang Ibu menggunakan Noken sebagai wadah membawa segala macam peralatan tersebut (noken adalah tas anyaman khas papua yang sudah diakui UNESCO sebagai warisan dunia).
Prosesi menarik lainnya adalah mummi atau mayat yang diawetkan. Suku di Papua (Irian Jaya) yang mengenal mummi adalah suku Dani Lembah Baliem, daerah pegunungan jayawijaya. Prosesi adat mummi ini dikhususkan bagi jasad pemuka/kepala adat suku yang telah meninggal dengan tujuan agar rohnya tetap dekat dan selalu melindungi keselamatan serta kesejahteraan masyarakat. Prosesi pembuatannya, mayat setelah diatur posisinya, diletakkan diatas panggung kemudian diasapi terus menerus sampai menjadi kering sekali. Penyimpanannya di lantai kedua Honai (rumah adat) pria kepala suku.
Disebelah mummi khas suku Dani tersebut dapat disaksikan Korwar khas suku Biak, yakni patung kayu tempat menyimpan tengkorak leluhur sebagai benda pemujaan perwujudan roh nenek moyang. Korwar disimpan dirumah pemujaan suku Biak bernama Kariwari/Kabiterau/Rumseram.
“Berbagai benda yang ada disini merupakan warisan budaya leluhur tanah Papua atau Irian Jaya. Walaupun sekarang sudah banyak suku-suku yang memeluk agama seperti Katolik, Kristen Protestan, dan Islam, namun sampai hari ini mereka masih mempertahankan adat istiadat dengan harapan bahwa hal itu tidak akan punah ditelan zaman,” demikian lanjut Dorothea pemandu wisata anjungan Papua menjelaskan.
?Mummi (kiri) dan Korwar (kanan) warisan adat leluhur tanah papua di anjungan provinsi Papua TMII
Bumi nusantara penuh dengan berbagai warisan seni, budaya, adat, dan agama atau keyakinan. Papua adalah salah satu provinsi yang mewakili adat istiadat serta kehidupan tradisional bernilai eksotis tinggi bagi bangsa indonesia serta dunia internasional. Dan sebagai bangsa besar yang menghargai keragaman adat istiadat, maka kita harus melestarikan apa yang dimiliki Papua sebagai warisan leluhur kita semua. Dan Taman Mini Indonesia Indah sudah melakukan hal tersebut melalui seluruh anjungan provinsi yang ada didalamnya khususnya anjungan provinsi papua.
Lihat juga...