RABU, 23 MARET 2016
Jurnalis : Harun Alrosid/ Editor : ME. Bijo Dirajo / Sumber Foto: Harun Alrosid
SOLO — Stabilitas ekonomi di Indonesia saat ini tengah memasuki titik rawan, karena kesenjangan sosial atau Gini Rasio telah mencapai 0,45 persen. Tingkat kesenjangan sosial ini menjadi yang terparah dalam sejarah, sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.
Subiakto Tjakrawerdaya |
Hal inilah yang diungkapkan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Indonesia periode 1993-1998, Subiakto Tjakrawerdaya dalam Diskusi Nasional 50 tahun Supersemar, Implikasi Supersemar bagi Peradaban Indonesia, di Auditorium UNS, Solo, Jawa Tengah.
“Tingkat kesenjangan ini memasuki titik rawan, bahaya kalau ini dibiarkan terus menerus. Negara bisa hancur,” paparnya, Rabu siang (23/03/16).
Tingkat kesenjangan sosial yang tinggi, mengakibatkan munculnya kecemburuan sosial. Kecemburuan sosial yang terus menerus terjadi di masyarakat akan memicu terjadinya kerusuhan sosial, dan berimplikasi stabilitas negara akan terganggu.
“Sekarang ada orang yang memiliki kekayaan hingga Rp.150 triliun, tapi disisi lain ada jutaan warga yang tidak menerima gaji sesuai UMR. Kesenjangan sosial ekonomi ini yang seharusnya di tekan pemerintah,” terangnya.
Berbeda dengan hasil yang diperoleh pada masa Orde Baru, dimana tingkat kesenjangan sosial hanya 0,30 persen.
“Ada yang mengatakan Gini Rasio hanya 0,28 persen, sekarang sudah 0,45 persen masuk ke titik rawan. Jika Gini rasio sampai 0,50 persen, itu bahaya sekali,” cetusnya.
Menurutnya apa yang telah dilakukan Orde Baru untuk menekan tingkat kesenjangan sosial hingga angka 0,30 persen merupakan fakta sejarah yang tidak bisa terbantahkan. Selama Orde Baru Indonesia juga telah mendapat 5 penghargaan dari PBB, yakni dibidang kesehatan, pendidikan, kemiskinan, ekonomi dan ketersediaan pangan.
Sejumlah penghargaan dari PBB itu tidak terlepas dari demokrasi politik, dan demokrasi ekonomi yang dilakukan secara konsisten oleh Presiden Soeharto.
“Dibidang ekonomi dilaksanakan betul pasal 33 UUD 1945, koperasi dibangun, pertanian dibangun. Tentu pada jaman Pak Harto ada kelemahan-kelemahan, tapi menurut saya lebih banyak kebaikannya. Satu hal yang menjadi fakta sejarah juga, tingkat kemiskinan pada masa Pak Harto adalah 11 persen, sekarang 17-20 persen, ini bisa dicek di BPS,” ungkapnya.
Kembali kepada Implikasi Supersemar dalam membangun peradaban Indonesia, Mantan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil itu menegaskan, Supersemar adalah tonggak sejarah bangsa, yang memberikan makna berupa kemajuan peradaban bangsa Indonesia. Menurutnya, generasi saat ini merupakan produk dari Supersemar, tidak hanya Supersemar sebagai beasiswa tetapi hasil dari pembangunan bangsa dari Supersemar.
“Yang kita nikmati hingga saat ini merupakan produk Supersemar. Termasuk fasilitas pendidikan perguruan tinggi Negeri di Indonesia yang tak lain juga dari produk Orde Baru,” pungkasnya.