Kepulauan Mentawai, Potret Filosofi Keseimbangan Manusia dengan Alam

SENIN, 11 APRIL 2016
Jurnalis : Miechell Koagouw / Editor : ME. Bijo Dirajo /  Sumber Foto: Miechell Koagouw

LIPUTAN KHUSUS TMII — Ibarat dua sisi mata uang, memiliki rupa berbeda dalam satu keping yang sama. Begitulah halnya antara provinsi Sumatera Barat dan Kepulauan Mentawai. Dua sosok kembar yang memiliki ketajaman seni dan budaya masing-masing. Sehingga walaupun kepulauan Mentawai merupakan salah satu bagian dari provinsi Sumatera Barat, ternyata memiliki sesuatu yang berbeda dan layak untuk diulas secara terpisah. 
Dokumentasi penduduk Mentawai Siberut melakukan kegiatan sehari-hari mereka di hutan dengan peralatan tradisional
Cendana News mencoba terlebih dahulu membawa pengunjung masuk di kepulauan Mentawai melalui zaman es. Kira-kira sepuluh ribu sampai satu juta tahun yang lalu, saat permukaan air laut asia tenggara berada 200 meter lebih rendah dari yang sekarang, pulau Sumatera menyatu dengan Jawa, Kalimantan, dan Benua Asia. Hal ini mengakibatkan adanya persamaan umum dalam dunia flora dan fauna dari daerah-daerah tersebut. 
Kepulauan Mentawai tidak memiliki kesamaan dari segi flora dan fauna pulau-pulau maupun benua yang disebutkan tadi karena ternyata kepulauan Mentawai aslinya terpisah dari daratan Sumatera oleh laut sedalam 1500 meter sekurang-kurangnya sejak zaman es tersebut (menurut data bathymetric). Dengan demikian, kepulauan Mentawai merupakan pulau-pulau asli sejak kira-kira 500.000 tahun yang lalu, sehingga flora dan fauna nya terpelihara dari perubahan-perubahan evolusi dinamis seperti pada daerah-daerah bagian sunda kecil lainnya.
Kepulauan Mentawai memiliki ciri khas pantai berpasir putih, pulau-pulau cantik, terumbu karang alami, serta ombak laut mengerikan mencapai ketinggian 4 meter. Ombak setinggi 4 meter inilah yang membuat kepulauan Mentawai menjadi tujuan utama para peselancar mancanegara seperti Australia, Jepang, Amerika, Selandia Baru, termasuk dari Indonesia seperti Bali dan Sumatera Utara. Terumbu karang di Mentawai ada sepanjang pantai timur, selatan, dan tenggara dengan pantai Masilok di selatan Siberut nampak seperti teluk dipenuhi hamparan pohon nyiur. Taman laut yang indah terletak di sebelah barat siberut yakni teluk pokai dan teluk katurei.
Tidak ada petunjuk kapan pertama kali manusia sampai di kepulauan Mentawai, namun dari bahasa yang mereka pergunakan, tingkat kebudayaan, dan ciri-ciri fisiknya, nampak bahwa suku Mentawai berasal dari Homo Sapiens-sapiens yang paling awal datang ke Indonesia. Para Antropolog menggolongkan mereka dalam rumpun ‘proto-malay’ berkebudayaan neolitik dengan pengaruh dari zaman perunggu, bukan dari Buddhisme, Hinduisme, Kristen, maupun Islam. Oleh karenanya tidak heran jika pada awalnya penduduk Mentawai menganut faham animisme yang percaya bahwa segala sesuatu mulai dari manusia hingga kera, dan dari batu hingga cuaca, mempunyai roh yang terpisah dari ‘raganya’ serta bebas berkeliaran seperti yang dikehendakinya.
Prinsip kepercayaan penduduk Mentawai tradisional adalah keselarasan penciptaan dengan suatu kekuatan relijius dibalik semua hal yang disebut ‘kina ulau’ atau ‘diluar jangkauan’. Mereka lebih memusatkan pada berbagai manifestasi penciptaan roh atau jiwa. Roh-roh ada dalam hubungan tetap yang selaras satu sama lain. Namun di sisi lain, seringkali kegiatan manusia itu sendiri yang merusak keselarasan tersebut.
Agar kembali seimbang, mereka melakukan berbagai upacara keagamaan yang di daerah kepulauan bagian selatan disebut dengan ‘puliaijat’ atau ‘punen’. Selama upacara berlangsung, penduduk memberikan persembahan kepada roh-roh halus dengan membuat hiasan dan ukiran-ukiran indah agar jiwa atau roh tersebut merasa senang. Sebagai contoh adalah patung-patung ukiran yang ada di Rumah adat Mentawai Uma di Anjungan Sumatera Barat, Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Patung ukiran pertama, laki-laki yang disebut ‘tularat simanteu’, kedua adalah patung wanita yang disebut ‘tularat sinanalep’, yang ketiga hiasan ukiran burung-burung camar laut diatasnya, terakhir replika tengkorak-tengkorak kepala manusia di pintu masuk menuju ruangan dalam rumah adat.
Kepulauan Mentawai adalah sebuah Kabupaten yang terdiri atas gugusan pulau-pulau, yakni Siberut, Sipora, Pagai Utara, Pagai Selatan, serta 95 pulau-pulau kecil lainnya. Daerah Tuapejat pulau Sipora adalah Ibukota kabupaten Mentawai bercirikan daratan sedimen berlumpur, dengan tanah liat bercampur kapur yang usianya masih relatif muda. Proses pengendapan masih berlangsung di sepanjang pantai timur termasuk perairan dalam. Proses tersebut ditandai oleh garis pantai yang tidak rata, berteluk, bertanjung, berpulau kecil, dan berpantai karang. 
Dua alat komunikasi tradisional suku Mentawai antara manusia dengan hewan dan antara sesama manusia
Pantai barat relatif lebih luas, berpasir lebar, bergelombang besar, sedikit karang, dan tidak umum untuk dilayari. Namun suku asli Mentawai merupakan orang-orang yang gemar berlayar, terbukti dengan replika perahu tradisional suku Mentawai bernama ‘Abak’ yang merupakan kendaraan transportasi angkutan di sungai-sungai pedalaman hutan Mentawai hingga mencari ikan di lautan lepas sepanjang pesisir pantai. Alat dayung yang digunakan bernama ‘bubuttak kakoat’,. Alat dayung ini terbagi dua jenis yaitu untuk wanita bernama ‘luga’ dan bagi pria bernama ‘paluga’.
Daratan Mentawai tertutup oleh hutan hujan tropis, mulai dari hutan primer, hutan primer campuran, rawa-rawa, hutan pantai, hingga hutan bakau. Setiap pulau memiliki flora masing-masing yang diperkirakan 15 persen dari flora yang ada adalah endemik (hanya ada didaerah tertentu, artinya flora itu hanya ada di kepulauan mentawai). Sementara itu, kira-kira 65 persen dari fauna menyusui yang hidup di mentawai terutama pulau siberut adalah juga fauna atau binatang yang juga endemik.
Terdapat empat spesies primata endemik di kepulauan Mentawai Siberut, yakni :
1. Bilow, sejenis gibon (babon) paling primitif, berbunyi merdu, dan menjdi asal bunyi dari gibon lainnya, warna bulunya juga paling sederhana dibanding semua gibon yang ada disana.
2. Joja atau Mentawai Langur, jenis kera yang hidup berpasang-pasangan dalam kelompok harem yang kompleks.
3. Simakobu atau disebut Langur, jenis monyet berhidung pendek, berbadan gemuk, ekor menyerupai hewan babi, memiliki dua warna saja, dan cepat sekali berkembang biak.
4. Bokkoi atau Mentawai Macaque, sejenis beruk yang tinggal di dataran tinggi, dan merupakan jenis monyet pertama dari daratan asia yang masuk ke indonesia.
Penduduk tradisional asli Mentawai siberut memiliki cara tersendiri untuk berkomunikasi dengan fauna disekitarnya. Di dalam rumah adat Mentawai Uma anjungan Sumatera Barat TMII terdapat replika ‘Loloklok’ sejenis alat untuk berkomunikasi dengan hewan liar dan hewan ternak dari suku Mentawai uma pulau siberut. Alat ini mengeluarkan bunyi-bunyian khas sebagai tanda komunikasi antara manusia dengan hewan di Mentawai. Untuk komunikasi dengan sesama penduduk yang berada di tengah hutan dimana tempatnya sangat berjauhan, maka digunakan alat komunikasi bernama ‘tutdukat’. Kegunaannya adalah untuk menyampaikan pesan non-verbal jika ada pesta perayaan, kedukaan, serangan musuh, sampai tanda peringatan adanya bencana alam.
Buah-buahan adalah bagian penting dari susunan rantai makanan suku Mentawai, khususnya buah durian serta buah pisang yang dimakan baik mentah maupun sudah masak dengan dicampur gula merah. Hutan adalah tempat yang digunakan untuk mencari buah-buahan, sayuran, tumbuhan obat, serta bahan-bahan bangunan seperti kayu. Akan tetapi, pohon-pohon besar tidak pernah ditebang, kecuali pohon ‘shorea’ yang digunakan sebagai bahan membuat sampan atau perahu. Penebangan pohon untuk pembuatan perahu sekaligus pemahatannya hanya menggunakan sejenis pisau primitif yang disebut ‘beliung’. 
Berburu adalah kegiatan utama kaum pria suku mentawai. Hal ini berkaitan erat dengan kepercayaan adat suku Mentawai dimana semua binatang liar bisa diburu seperti ular, primata, babi, dan rusa. Hewan lainnya seperti trenggiling, burung rongkong, dan punai jarang diburu. Mereka juga seringkali menggunakan teknik pemasangan jerat untuk menangkap hewan buruan tertentu, seperti : musang, kalong, burung cabai, dan burung jantung.
Berbagai kelengkapan berburu, perlengkapan makan, kelengkapan mencari sagu (salah satu makanan utama suku mentawai sama seperti di papua), sampai senjata tradisional dalam mempertahankan diri turut dipamerkan di dalam Rumah adat Mentawai uma di anjungan Sumatera Barat TMII. Benda-benda tersebut diantaranya adalah :
1. Balugut, pisau untuk mencari bahan obat-obatan dan berkebun
2. Palitei, sangkur atau pisau untuk membantai babi
3. Sisip, mangkuk untuk makan makanan berkuah
4. Balatu, pisau atau sangkur senjata pria mentawai saat bepergian
5. Miru, alat membersihkan beras atau padi
6. Gagatjai, pengayak tepung sagu
7. Leggeu, perangkap ikan di sungai
8. Rou-Rou, panah dan busur yang digunakan untuk berburu babi dan monyet
9. Buk-Buk, tabung tempat anak panah
10. Babakhlu, tempat membawa barang-barang saat bepergian
11. Gagaji, sejenis alat parut untuk memarut sagu
12. Tutuk, topi tradisional saat mencari ikan di laut
13. Lulak, piring besar untuk makan bersama sekeluarga
14. Pepetcle, alat untuk menyaring cairan obat yang sudah dibuat secara tradisional
15. Koraibik, sejenis tameng yang digunakan jika berperang
16. Sosoat, tombak untuk berburu babi dan rusa, serta berperang
Kesenian juga berkembang cukup baik di Mentawai. Kesenian asli masyarakat mentawai adalah dengan menyanyi, meniup suling, sambil menabuh gendang. Replika alat-alat musik tradisional khas suku Mentawai juga dapat disaksikan didalam rumah adat Mentawai di area anjungan Sumatera barat TMII, yaitu :
1. Kajeumak, sejenis gendang berbentuk mirip tifa dari papua, sebagai alat musik tabuh untuk seni musik dan ritual adat
2. Kateubak, alat musik khas suku mentawai
Kesenian lain yang menjadi ciri khas masyarakat tradisional Mentawai adalah Seni merajah tubuh (seni tatto). Seni merajah tubuh milik suku Mentawai ini merupakan salah satu seni tatto tertua di dunia.
Kepulauan Mentawai tidak memiliki kekayaan tambang maupun energi, namun memiliki eksotisme alam yang luar biasa. Inilah yang harus dijadikan materi pengembangan sektor pariwisata di kepulauan Mentawai. Hal ini turut menjadi pertimbangan Kementerian Pariwisata RI (Kemenpar RI) yang baru-baru ini melakukan peluncuran Program pariwisata nasional Festival Pesona Mentawai (FPM) 2016 di kantor Kemenpar RI Jalan Medan Merdeka Barat Jakarta. FPM 2016 sedianya akan berlangsung sejak tanggal 19-24 April mendatang di kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
“Bila sektor pariwisata  berkembang pesat  maka pertumbuhan devisa di Mentawai akan sama dengan daerah lain yang memiliki  potensi sumber daya energi dan mineral,” kata Menteri Pariwisata RI, Dr.Ir.Arief Yahya,M.sc dalam sambutan di acara peluncuran FPM 2016 (5/4/2016).
Tampak dalam sebagian ruangan dalam Rumah adat Mentawai Uma pulau Siberut di anjungan Sumatera barat TMII 
Hanya sebaris kalimat untuk kepulauan Mentawai, yakni ‘kepulauan eksotis yang membuat Indonesia bangga’. Warisan leluhur nenek moyang bangsa yang hingga kini menjadi tujuan wisata dan olahraga selancar papan atas dunia. Namun sekali lagi, bahwa seringkali atau selalu saja tangan-tangan manusia yang merusak keseimbangan di suatu tempat. Semoga kepulauan Mentawai tetap seperti apa adanya, sama seperti awalnya kepulauan ini diwariskan oleh nenek moyang suku Mentawai bagi Bangsa Indonesia, yaitu warisan tradisional dengan menjaga keseimbangan antara manusia dengan alam sekitarnya.
Lihat juga...