MINGGU, 22 MEI 2016
SUMENEP — Kerapan sapi pada umumnya bagi masyarakat Pulau Madura, Jawa Timur, sudah menjadi sebuah tradisi turun temurun yang hingga sekarang masih dilestarikan. Namun masih ada lagi tradisi unik sampai kini juga bertahan, yaitu, kerapan kerbau atau disebut ‘Mamajir’, dimana tradisi tersebut hanya dilaksanakan setiap tahun setelah usai panen padi.
Suasana warga sedang memacu kerbau di lahan berlumpur. |
Tradisi peninggalan nenek moyang kerapan kerbau atau ‘Mamajir’ biasanya rutin digelar oleh warga Desa Air Jambu Kolo-Kolo, Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, di setiap usai panen padi. Sehingga seluruh petani yang ada di desa setempat membawa kerbau untuk di adu cepat diatas lumpur dengan tujuan guna tetap mempertahankan kebudayaan warisan para leluhurnya.
“Mamajir (Kerapan Kerbau) memang rutin dilaksanakan setiap tahun oleh petani desa ini, sehingga tradisi peninggalan nenek moyang tersebut tidak mudah punah. Karena masyarakat tetap melestarikan tradisi warisan yang sangat kita banggakan,” jelas Abd Rahim (39) salah seorang warga Desa Air Jambu Kolo-Kolo, Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, Minggu (22/5/2016).
Disebutkan, bahwa kebiasaan para nenek moyang terdahulu yang setiap tahun menggelar Mamajir (Kerapan Kerbau) di setiap usai panen padi terus dilestarikan oleh masyarakat setempat. Sehingga meski perkembangan zaman semakin pesat, tradisi tersebut tidak akan mudah punah, karena sejak dulu sampai sekarang acara menyambut awal musim tanam itu tetap digelar secara rutin setiap tahunnya.
“Jadi tujuannya kami selaku penerus generasi dari nenek moyang wajib melestarikan warisan tradisi dan budaya yang ada, agar tidak mudah punah. Sebab tradisi itu menjadi kebanggaan kita yang harus dijaga dengan baik, karena tradisi itu akan dapat menjalin silaturahmi antar sesama warga desa,” jelasnya.
Dalam acara Mamajir, puluhan pasang kerbau jantan yang siap diadu cepat atau di kerap, sang pemilik menyiapkan peralatan terlebih dahulu untuk digunakan terhadap kerbau tersebut. Sehingga setelah sepasang kerbau sudah terpasang sebilah kayu berna onongan yang digantungi alat tradisional pembajak sawah, kemudian diturunkan ke lumpur dan dilepas dari garis start.
Pemilik kerbau menunggangi alat pembajak sawah agar kerbau yang di adu bisa dikendalikan, karena terkadang kerbau tersebut tidak lari dengan lurus, sehingga agar larinya kencang dan lurus sang pemilik sambil lalu memukulnya dengan cambuk yang biasa mereka gunakan saat membajak sawah.
Adu cepat kerapan kerbau tersebut sangat unik, karena tidak seperti kerapan pada umumnya yang sekali melepas langsung dua pasang, tetapi di tradisi Mamajir ini dilepas persatu pasang, sehingga penonton yang akan menilai kencangnya lari kerbau tersebut. bahkan tak jarang para pemilik terjatuh ketika kerbau yang ditungganginya tidak bisa dikendalikan, namun hal itu tidaklah berbahaya, karena lapangan dengan kurang lebih seluas 150 Meter penuh lumpur.
Acara tradisi para petani itu akan mejadi tontonan masyarakat luas, sebab selain unik, kebiasaan tersebut juga menjadi ajang memperatat tali persaudaraan antara warga yang tinggal di daerah pulau, maka penonton yang memenuhi lapangan bukanlah kalangan dewasa saja. Tetapi melain anak-anak juga ikut meramaikan budaya kebanggaan masyarakat ujung timur Pulau Madura. (M. Fahrul)