Kejahatan Kemanusiaan Oleh PKI adalah Fakta Bukan Ilusi

SELASA, 21 JUNI 2016

LIPUTAN KHUSUS — Road Show bedah buku ayat-ayat yang disembelih kali ini sampai di Kota Solo, Jawa Tengah. Ada harapan besar saat bedah buku yang membahas kekejaman PKI pada 1948 di Kota Pergerakan sekaligus Kota yang menjadi barometer nasional di Indonesia tersebut. 


Bersama ratusan Aktivis Islam dan Santri Pondok Pesantren Al-Islam Ngruki, Cemani, Sukoharjo, Jawa Tengah, Anab Afifi bersama Thawaf Zuharon tampil lebih santai setelah sehari sebelumnya full di Madiun (Kota Kelahiran Penulis) dan Magetan, Jawa Timur. Berada di Masjid Al Muhtadin, kedua penulis banyak bercerita dengan sejarah Komunis di dunia beserta korbannya selama 74 tahun, yang mencapai 120 juta nyawa melayang. 
Tujuan penulisan buku ini untuk bersama-sama memberikan penyadaran anak-anak generasi muda, karena saat ini menjadi sasaran dari paham komunis di Indonesia. Gerakan-gerakan untuk mengkomuniskan anak muda ini tengah marak dilakukan, bahkan dilakukan secara terang-terangan. Gerakan komunis ini justru telah masuk di perguruan-perguruan tinggi islam di Indonesia.
“Paham komunis ini telah memasuki Universitas Islam Negeri, dan mahasiswa yang telah jadi komunis telah banyak. Bahkan para mahasiswa ini justru membela komunis, dan menyatakan komunis selaras dengan islam,” ungkap Thowaf Zuharon kepada ratusan peserta bedah buku di Solo, Senin malam (20/6/16). 
Dijelaskan Thowaf, pergerakan paham komunis untuk mendesak pemerintah untuk membelokkan sejarah terus meringsek segala lini. Bahkan, sejumlah rekomendasi hasil Simposium keluarga PKI di Jakarta beberapa waktu jelas akan membangkitkan kembali eksistensi komunis. Diantara mendesak Presiden Joko Widodo sebagai lambang kepala negara meminta maaf kepada PKI maupun keluarga PKI, Negara diwajibkan memberikan kompensasi kepada keluarga PKI yang besarannya antara 500 juta sampai 1,5 Milliar per keluarga, serta rekonsiliasi. 
“Ini yang harus kita waspadai, jangan sampai negara meminta maaf kepada PKI. Jika negara meminta maaf dengan kata lain tragedi ’65 yang bersalah adalah TNI dan Umat Islam, lantas yang benar PKI? Kita harus pahami benar jika PKI adalah pemberontak. Kita semua harus berpegang teguh dengan Islam, Pancasila, dan UUD 45,” tekannya. 
Diyakini penulis AAYD tersebut, selama ini rekonsiliasi telah terjadi secara alamiah.  Yakni setiap tahun Presiden telah meminta maaf kepada seluruh rakyatnya, yang dilakukan setiap lebaran. Dalam bedah buku tersebut, mendesak Lembaga Swadaya Masyarakat  (LSM) atau Organisasi Masyarakat (Ormas) tidak terus menerus merongrong negara atas pesanan pihak asing, guna kembali memberikan ruang bagi PKI. Ia juga meminta agar ada gerakan untuk menegakkan UU No 27 tahun 1999 tentang larangan menyebarkan paham komunis, serta perlu adanya UU baru dan kurikulum baru untuk menghidupkan kembali pelajaran Pancasila dan PPKN. 
“Perlu diterbitkan kembali Undang-undang baru dari Dikti untuk memasukkan pelajaran Pancasila dan wawasan kebangsaan dalam kurikulum pendidikan. Jika tidak, bukan tidak mungkin Pancasila akan hilang pada generasi bangsa yang akan datang,” tutupnya. 
Solo Gerbang untuk Menolak  Presiden Minta Maaf
Dalam bedah buku AAYD kali ini juga menjadi pemantik tersendiri agar Presiden Joko Widodo tidak meminta maaf kepada PKI.  Solo, yang menjadi kota asal Presiden diharapkan mampu menjadi pintu gerbang pergerakan untuk mengatakan tidak kepada PKI. Gerakan menolak Presiden minta maaf kepada PKI ini akan dimulai dari Solo, Jawa Tengah. 
“Waktu kita kurang dari 2 bulan lagi, gerakan-gerakan untuk mendesak presiden untuk tidak meminta maaf harus digencarkan. Gerakan ini menolak PKI ini akan dilakukan dengan memutar kembali film G 30 S PKI secara masif di masjid-masjid yang ada di Solo Raya,” tambah Kalono, sebagai moderator dalam bedah buku AAYD pada Senin malam (21/6/16).(Harun Alrosid)
Lihat juga...