RABU, 31 AGUSTUS 2016
YOGYAKARTA — Pusat Sains dan Teknologi Akselerator Badan Tenaga Atom Nasional (PSTA BATAN) DI Yogyakarta, dibangun sejak 1974 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1 Maret 1979. PSTA BATAN dibangun untuk kepentingan riset kesehatan, industri dan lingkungan.
Salah satu hasil riset di bidang kesehatan yang pernah dihasilkan oleh PSTA BATAN DI Yogyakarta adalah alat remograf, merupakan alat pendeteksi kerusakan ginjal. Alat tersebut kini telah dikembangkan lebih modern dan digunakan oleh beberapa rumah sakit di Indonesia. Ada pun prototipe awal dari alat tersebut hingga kini masih bisa dilihat di PSTA BATAN DI Yogyakarta.
Kepala PSTA BATAN DI Yogyakarta, Susilo Widodo menjelaskan, tugas pokok PSTA BATAN Yogyakarta adalah mengadakan penelitian dan pengembangan (Litbang) aplikasi teknologi nuklir dasar yang mencerdaskan masyarakat, terutama masyarakat ilmiah mengenai nuklir.
“Litbang terkait aplikasi teknologi nuklir berbasis akselerator dilakukan di bidang kesehatan, lingkungan, industri, dan masih tingkat dasar, tidak sampai skala produksi. Alat remograf yang pada awalnya dibuat di PSTA BATAN Yogyakarta itu dikembangkan di BATAN Serpong dan diproduksi massal di sana,” jelasnya, Rabu (31/8/2016).
Dalam menjalankan tugas pokok tersebut, lanjut Susilo, PSTA tidak menggunakan zat radioaktif. Satu-satunya sumber radioaktif adalah Reaktor Kartini yang kapasitasnya hanya 100 Kilowatt. Berbeda dengan BATAN di Bandung yang berkapasitas 1.000 Kilowatt dan BATAN di Serpong yang berkapasitas 30.000 Kilowatt.
Menurut Susilo, kecilnya kapasitas Reaktor Kartini karena peruntukkannya yang hanya untuk latihan dan pengembangan. Selain mengadakan riset dan pengembangan di bidang kesehatan, industri dan lingkungan, PSTA BATAN Yogyakarta juga melakukan pengembangan lain di bidang pertambangan, yaitu memisahkan logam tanah jarang untuk mendukung pelaksanaan Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba) Nomor 4 Tahun 2009 yang sudah melarang eksport konsentrat.
Seperti diketahui, jelas Susilo, dari proses pertambangan timah menghasilkan sisa yang disebut monacid yang menjadi ranah BATAN, karena mengandung uranium dan torium.
“Tugas kita memisahkan antara uranium dan torium dari tanah jarang itu,” katanya.
Reaktor Kartini di BATAN Yogyakarta merupakan satu dari empat reaktor nuklir yang dimiliki oleh Indonesia. Reaktor berkapasitas 100 Kilowatt itu merupakan reaktor riset jenis TRIGA (Training Research Isotop Production/Irradiation General Atomic) dengan desain tipe kolam 250 Kilowatt. Reaktor diberi nama Kartini, sebagai penghargaan kepada pahlawan nasional Raden Ajeng (RA) Kartini. Namun, kata Susilo, Kartini juga bisa bermakna karya teknologi Indonesia. Reaktor Kartini diresmikan oleh Presien Soeharto pada 1 Maret 1979 dan dibangun untuk keperluan penelitian, irradiasi, pendidikan dan pelatihan.
Sementara itu, tiga reaktor nuklir lainnya, yaitu Reaktor Triga Mark II yang dibangun pada tahun 1964 dan diresmikan oleh Presiden Soekarno. Pusat Penelitian Nuklir Pasar Jumat Jakarta di tahun 1966 dan Reaktor GA Siwabesy di Serpong yang diresmikan tahun 1987 oleh Presiden Soeharto.
[Koko Triarko]