SELASA, 13 SEPTEMBER 2016
LARANTUKA — Merujuk dan memaknai secara sepotong-sepotong Peraturan Perundang-undangan akan melahirkan argumentasi sesat dan kesimpulan seenaknya. Peraturan yang mengatur tentang masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya tidak hanya pada Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1970.

Demikian disampaikan Pieter Hadjon, MH, kuasa hukum para tergugat yakni Frateran BHK, ahli waris Oemboe Djawa serta almahrum dr. Hendrik Fernandes dalam press release yang diterima Cendana News, Selasa (13/9/2016).
Pengaturan tentang masyarakat hukum adat juga beber Pieter, diatur dalam Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Selain itu terang pengacara yang berkantor di Surabaya ini, terdapat dalam Peraturan Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Pernyataan ini disampaikan menanggapi pertanyaan Cendana News terkait gugatan penggugat Yohanes Djuan da Silva yang terdaftar di Pengadilan Negeri Larantuka dalam perkara bernomor 6/PDT.G/2016/PN Larantuka terkait tanah di kelurahan Weri Larantuka.
“Penggugat mengaku dirinya sebagai ketua adat dan kepala suku Kota Rowido dan Kota Sau mendalilkan bahwa obyek tanah sengketa tersebut merupakan tanah ulayat,” ujar Pieter.
Dalam gugatannya ungkapnya, para penggugat merujuk pada pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1970. Mengajukan gugatan adalah hak setiap orang.
Namun apakah penggugat tanya Pieter, mempunyai legal standing atau persona standi in judicio atau ius standi yakni hak untuk menuntut. Hal ini berkaitan dengan kedudukan hukum penggugat dan hubungan hukum dengan obyek sengketa.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 bebernya, jelas menyebutkan terkait masyarakat adat dan hak ulayat.
“Untuk menetapkan kebenaran masyarakat hukum adat Kota Rowido dan Kota Sau beserta hak ulayatnya haruslah terlebih dahulu dilakukan penelitian yang melibatkan pakar hukum adat dan aspirasi masyarakat setempat,”terangnya.
Juga sambung Pieter, perlu melibatkan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan serta instansi atau pihak lain yang terkait serta didasarkan oleh suatu penetapan resmi dari pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah (Perda).
Disamping itu,untuk menentukan hutan adat atau tanah ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu haruslah terlebih dahulu ditetapkan mengenai kebenaran dan keberadaan dari masyarakat hukum adatnya.
“Di kabupaten Flores Timur belum ada satupun kelompok masyarakat adat yang keberadaannya diakui secara turun temurun oleh negara atau daerah. Hal ini terjadi sebab pengukuhan dan pengakuannya haruslah didasarkan pada Perda,” tegasnya.
Pieter menyebutkan, maka para penggugat tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan gugatan dalam perkara ini. Demikian pula dengan dalil tentang tanah obyek sengketa sebagai tanah ulayat Kota Rowido dan Kota Sau tidak terbukti dan tidak akan petnah dapat dibuktikan.
“Sepanjang belum ada Perda yang menetapkan keberadaan masyarakat hukum adat Kota Rowido dan Kota Sau bserta hak ulayatnya penggugat tidak mempunyai hak. Dengan demikian gugatan para penggugat tidak berdasarkan fakta dan hukum,”pungkasnya.
[Ebed De Rosary]