Menenun Gunakan Pewarna Alami, Hasil Karya Sisilia Menghiasi Museum di Prancis

MINGGU, 04 DESEMBER 2016

LIPUTAN KHUSUS, ENDE — Tenun ikat bagi warga masayarakat di pulau Flores maupun NTT merupakan sebuah kearifan lokal warisan leluhur. Hampir setiap kabupaten memiliki motif dan corak tenun ikat masing-masing. Bahkan dalam satu kabupaten setiap wilayah juga memiliki motif sendiri.
Sisilia Sii sedang mengikat motif pada kain tenun sebelum dicelup untuk diberi warna
Ndona sebuah wilayah kecamatan di kabupaten Ende pulau Flores sejak dahulu terkenal dengan masyarakatnya yang menekuni kerajinan tenun ikat. Sentra tenun ikat tumbuh subur di wilayah ini dimana hampir semua kelompok tenun berlomba-lomba menghasilkan karya untuk dijual.
Sisilia Sii (75) nama itu seakan tidak asing bagi pencinta tenun ikat di Ende. Dijumpai Cendana News, Sabtu (3/12/2016) sore tangannya masih lincah mengikat motif di benang. Di usia senjanya, matanya pun masih awas memperhatikan jari jemarinya melilit tali dari daun Gewang pada benang membentuk motif.
“Mama masih kuat kalau ikat motif atau mencelup warnanya, tapi kalau menenun sudah jarang sebab tenaga sudah tidak kuat lagi menenun,” ujarnya.
Sisilia belajar menenun dari sang ibu dan pertama menenun sendiri tahun 1959. Sejak itu, saban hari kerjanya hanya menenun saja. Tak heran, dirinya merupakan salah satu penenun tua yang menguasai dan mahir menenun motif apapun sesuai pesanan pembeli.
Pewarna Alami

Benang berwarna hitam yang sudah dicelup dan dikeringkan
Periode awal menenun hingga tahun 1980-an kenang Sisilia, benang yang dipakai berasal dari kapas yang ditanam di kebunnya. Prosesnya pun memakan waktu lama bahkan bisa 1,5 tahun untuk menghasilkan selembar kain tenun. Kapas dipetik, dijemur, dibersihkan lalu dipisahkan dari bijinya. Kapas pun dikebas atau dipukul hingga halus lalu digulung di sepotong kayu bulat serta dipintal menjadi benang.
“Saat ini sudah tidak ada yang menanam kapas sehingga benangnya kami beli di toko yang berwarna putih lalu kami warnai sendiri dengan bahan dari alam,” tuturnya perlahan.
Namun demikian, Sisilia mengaku tidak keberatan bila ada pembeli yang meminta kain tenun berbahan asli kapas. Dengan tersipu dirinya katakan, mampu tapi harganya tentu lebih mahal karena kapasnya harus dibeli di daerah lain dan harganyapun lebih mahal dibandingkan benang pabrikan. Benang toko pun terangnya ada yang dari ulat sutera dan ada yang kapas.
Walau menggunakan benang toko, pewarnanya tetap menggunakan bahan dari alam sama seperti yang dilakukan nenek moyangnya dahulu. Untuk menghasilkan selembar kain, bila memakai pewarna alami bisa butuh waktu satu tahun.
Tahapan pembuatannya hampir sama dengan di beberapa wilayah di Flores dimana dimulai dengan pete atau ikat guna menentukan jenis motif yang akan ditenun. Benang diikat dengan tali gebang (sejenis lontar) sesuai dengan jenis motif untuk mendapatkan warna putih. Sesudahnya dilakukan dengan mencelup benang untuk mendapatkan warna dasar (biru), harus menyiapkan dan mengolah terlebih dahulu bahan-bahan pewarna. Bahan dasar yang digunakan adalah daun Nila (Tarum) untuk mendapatkan warna dasar biru atau hitam.
“Daun tarum ini perlu direndam dulu dua malam untuk memisahkan ampasnya baru dicampur dengan kapur sirih, diaduk lalu benangnya dicelup dan direndam. Benang tersebut biasanya direndam selama tiga hari baru dijemur di bawah cahaya matahari,” tutur Sisilia.
Selanjutnya, kain yang sudah kering dicelup memakai minyak kemiri yang berasal dari perasan kemiri yang sudah ditumbuk halus. Proses berikutnya menghasilkan warna merah. Abu dapur dicampur dengan air sebanyak dua gayung diaduk lalu ditiriskan. Tirisan abu dapur ini dicampur segelas minyak kemiri lalu dimasukan juga daun pacar, daun akar kuning, sirih pinang, lombok dan garam.
Sesudahnya akar pohon Mengkudu ditumbuk hingga halus dan diperas airnya. Air ini pun dicampur dengan minyak berwarna merah yang sudah dibuat sebelumnya dan diletakan di dalam periuk tanah. Setelah itu benang dicelup dan direndam selama kurang lebih seminggu baru dijemur.
“Selama direndam kain harus diaduk supaya warnanya benar-benar merata. Bila warnanya belum merah maka prosesnya harus diulang lagi. Benang yang telah diwarnai ini dijemur di bawah cahaya matahari hingga benar-benar kering dan biasanya  selama 10 hari sampai dua minggu lamanya,” paparnya.
Motif kain tenun yang biasa dibuat Sisilia Sii
Setelah kering, benang tadi dicelup kembali dan dijemur,begitu seterusnya hingga sampai delapan kali celup agar warnanya tidak luntur atau cepat pudar. Sesudahnya benang yang sudah berwarna tadi disimpan dua hingga tiga bulan baru ditenun.
“Prosesnya lama agar warna yang dihasilkan terihat alami bahkan semaki lama disimpan warnanya akan semakin bagus. Kain tenun pewarna alami ini yang selalu dipesan orang asing,” ungkapnya.
Dipajang di Museum Paris
Tekun dan ulet mempertahankan tradisi berbuah keberhasilan. Berkah itu datang saat perjumpaannya dengan Roy W.Hamilton peneliti asal Amerika Serikat yang melakukan penelitian tentang tenun ikat pada tahun 1986.
Selama tiga tahun berada di Flores dan bergelut dengan tenun membuatnya menghadirkan karya tulis dalam bentuk buku berjudul “ Gift of The Cotton Maiden,Textile of Flores and the Solor Islands “ dan “ Weavers Stories from Island Southeasth Asia “ bagi Fowler Museum of  Cultural History, University of California Los Angeles.
Proses menenun hingga menghasilkan selembar kain yang dilakoni Sisilia saban hari terekam jelas dan ditampilkan dengan fioto yang menarik. Dua karya ini yang melambungkan nama Sisilia hingga terkenal di Amerika Serikat.
Bahkan, saat pulang Hamilton juga membawa puluhan kain tenunnya serta selembar kain tenun isitimewa sepanjang tiga meter bertuliskan namanya untuk di pajang pada museum di Paris Perancis.
“Saya menenunnya selama setahun lebih sebab diminta khusus. Memang sulit karena harus sesuai permintaan sehingga kain tenunnya dikerjakan dengan tingkat ketelitian tinggi,” sebutnya
Berkat Hamilton, nilai jual Sisilia yang sebelumnya sudah terkenal di Ende terbang hingga ke beberapa negara di benua Amerika dan Eropa. Hubungan yang dibangun dengan Mr. Roy, Sisilia biasa menyapanya, terus terjaga. Sisilia mengakui, bila kain tenunnya tidak laku terjual ataukah membutuhkan dana, dirinya akan mengirim kain tenun tersebut ke Amerika Serikat untuk dibeli Hamilton.
Warga desa Manulondo ini setiap harinya dibantu anak perempuan sulungnya bernama Gresiana Wani (46) yang tinggal seatap dengannya di rumah sederhana berdinding bambu belah. Gresiana menuturkan, sudah dua kali pameran di hotel berbintang di Jakarta kain tenun mereka diikutsertakan.
“Tahun 2003 kami ikut pameran di hotel Sahid Jaya Jakarta dan tahun 2013 juga ikut pameran disana. Kami bawa 20 hingga 30 kain tenun, semuanya habis terjual bahkan yang saya pakai juga mereka minta dibeli dengan harga 5 juta rupiah,” ungkap Gresiana.
Sisilia Sii (kanan) bersama Gresiana Wani di rumah sederhana mereka
Selembar kain tenun dijual seharga 1 sampai 1,5 juta rupiah dan khusus orang asing harganya bekisar antara 2,5 sampai 3 juta rupiah serta selendang seharga 5 juta rupiah. Ukuran untuk orang asing biasanya panjang kain tenunnya 2 meter dengan lebar 50 sentimeter. Permintaan khusus terkait motif dan tulisan pun dilayani keduanya setelah harga khusus disepakati.
“Kalau orang asing harganya tidak menjadi masalah buat mereka asal kualitasnya bagus dan benar memakai pewarna alami. Mereka juga lebih suka kain yang sudah dipakai yang warnanya pudar,” pungkas Gresiana.

Jurnalis : Ebed de Rosary / Editor : ME. Bijo Dirajo / Foto : Ebed de Rosary

Lihat juga...