MINGGU, 18 JUNI 2017
MARABAHAN — Dua bocah perempuan naik-turun di geladak unit perahu klotok yang masih tertambat di pinggiran Sungai Gampa, Kecamatan Rantau Badauh, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Di sebelah perahu itu, ribuan lonjoran kayu Galam saling tumpuk dengan aneka jenis ukuran. Selepas tengah hari pada Selasa siang, 13 Juni lalu, satu unit perahu klotok ini baru merampungkan bongkar muatan kayu galam yang dibawa dari Kecamatan Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.
Taufik di atas perahu klotoknya. |
“Saya menunggu air sungai surut, baru pulang lagi ke (Kecamatan) Tabukan. Kalau berangkat sekarang, perahunya enggak bisa lewat karena terbentur jembatan,” kata Paman klotok, Taufik, 45 tahun.
Dalam budaya Suku Banjar, sebutan paman klotok merujuk pada juru mudi perahu klotok. Memakai perahu dengan suara mesin yang meraung pekak, Taufik sudah lima tahun hilir mudik membelah perairan Sungai Barito untuk mengirim ratusan tumpuk potongan pohon Galam (Melaleuca Cajuputi).
Hari itu, Taufik mengajak dua putrinya yang kebetulan libur sekolah. Mereka membutuhkan waktu 12 jam menyusuri alur Sungai Barito dari Dadahup ke Rantau Badauh. Dalam sekali kirim, Taufik biasanya sanggup membawa 1.200 potong lonjor kayu Galam beragam ukuran, mulai panjang 4 meter sampai 11 meter. Tapi, pada Selasa lalu, ia cuma mengangkut pesanan juragan sebanyak 350 lonjor kayu Galam.
Menurut Taufik, perahu klotok punya kapasitas angkut jauh lebih banyak dan efisien ketimbang angkutan truk engkel. Ia cukup menghabiskan duit Rp400 ribu dalam sekali kirim dengan rute Dadahup-Rantau Badauh. Duit ini dibuat biaya bahan bakar dan makan-minum selama perjalanan.