Perda Pengakuan Masyarakat Adat Penting untuk Redam Konflik
ENDE — Pembuatan peraturan daerah (Perda) dan Peraturan Bupati (Perbup) terkait pengakuan atas masyarakat adat dinilai penting agar dapat meredam konflik yang terjadi antara pemerintah dan berbagai komunitas adat terkait tapal batas dan wilayah hutan lindung.
Konflik yang sering terjadi di wilayah Flores dan Lembata bermuara dengan adanya pematokan wilayah hutan dengan menentukan tapal batas di tahun 1984, dimana wilayah masyarakat adat seperti pemukiman dan kebun banyak yang masuk dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi.
Permasalahan ini yang menjadi salah satu isu yang menguat dalam musyawarah wilayah (Muswil) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nusa Bunga yang meliputi wilayah pulau Flores dan Lembata di Rendu Butowe kabupaten Nagekeo tanggal 6 hingga 9 Juli 2017.
Ketua AMAN Nusa Bunga periode kedua, Philipus Kami menyebutkan, konflik yang selalu berulang di beberapa daerah hendaknya menjadi perhatian pemerintah daerah dan pemerintah pusat, yang mana selama ini komunitas adat selaku pemilik hak ulayat baik atas tanah ulayat komunitas adat sering tidak diakui.
Konflik tanah ulayat bahkan membuat beberapa warga di wilayah perbatasan kabupaten Sikka, komunitas adat Saga dan lainnya harus mendekam di penjara akibat dituduh menyerobot wilayah hutan lindung dan terkait kepemilikan tanah di daerah perbatasan antar kabupaten.
Lipus sapaan ketua AMAN Nusa Bunga menjelaskan, di wilayah barat pulau Flores di kabupaten Manggarai terjadi konflik di Colol, Ewar,Nigiho, Kalamahit dan Gorolebo terkait soal tapal batas hutan lindung dan pertambangan.
“Khusus Colol, Kalamahit dan Gorolebo terkait penolakan tambang oleh komunitas adat tetapi berkat perjuangan masyarakat adat Pemda Manggarai dan perusahaan pertambangan sudah mengentikan operasional tambang,” terangnya.