Alex, 17 Tahun Tekuni Seni Budaya Keerom
“Dan, kalau dari anak-anak asli Papua sendiri, mereka takut angkat ini. Karena banyak yang menyalahgunakan karya-karya asli kami dari Keerom, jadi banyak yang jiplak,” kata Alex, yang telah dikaruniai 5 orang anak.
Alex mengaku, saat ini kulit kayu yang telah dilukis dijual Rp30 ribu per kulit kayu. Kulit kayu yang dijual ini hasil kolaborasi antara ia dan istrinya, di mana ia melukis dan istrinya bagian pewarnaan.
“Kulit kayu (Pes: Kulit Jayu – bahasa daerah Arso) harus dicari dulu, setelah itu kulit kayu diberi motif mewakili suku-suku atau gambar orang dan hewan (Pesaga: Kulit Jayu Sudah Jadi – bahasa daerah Arso),” ujarnya.
Sejauh ini dengan modal sendiri, setiap bulan Rp500 ribu dikeluarkan untuk membuat beberapa karya dan menghasilkan maksimal Rp1,5 juta untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Tak jarang pula dalam sebulan mereka tak mendapatkan pemasukan apa-apa.
“Saya hanya bisa berkarya, tidak mau meminta-minta atau mengemis kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya,” katanya.
Modal yang sangat dibutuhkan, diakui Alex minimal Rp1,5 juta per bulan untuk menambah atau memperbanyak karya seni ukir, lukis, dan desain batiknya. Bila ada modal segitu, dapat disisihkan untuk biaya pembuatan brosur dan transportasi.
“Bapak hanya kalah di modal saja, kalau Pemda dukung dan berikan modal yang Bapak bilang tadi, pasti pemasukan akan jauh lebih besar dari biasa,” ucapnya.
Tina, salah satu pengunjung Festival Budaya Keerom IV tahun 2017 mengaku senang dan menggunakan atribut mahkota adat Papua untuk berswafoto. “Saya dan teman selfie pinjam mahkota adatnya Bapak Alex. “Iya nih, banyak warna juga dalam lukisan kulit kayunya, sudah pasti laris, dong,” kata Tina, yang berdomisili di Arso IV, Keerom.