Potensi Ekonomi Kerajinan Wayang Masih Terbuka Luas

Isyanto mengaku pernah menampilkan karyanya di beberapa negara mulai dari Perancis, Belanda, Amerika dan Australia. “Bahkan di beberapa mall besar di kota besar,” tandasnya.

Isyanto sendiri pernah menjual satu set wayang seharga Rp600 juta bahkan ada pula yang hampir milyaran tergantung permintaan kolektor.

Minim Generasi Penerus

Isyanto, saat ini ia tengah kebingungan mencari generasi penerus. Pasalnya, di Ponorogo sendiri yang berprofesi sebagai perajin wayang hanya ia sendiri.

“Sebelumnya ada teman saya, tapi beliau sudah meninggal. Kini tinggal saya saja,” jelasnya.

Wayang hasil karya Isyanto/ Foto : Charolin Pebrianti

Menurutnya, generasi penerus saat ini lebih menyukai budaya luar daripada budaya tanah leluhur. Meski semakin hari anak-anak mulai mendalami dalang, namun regenerasi untuk pengrajin sendiri belum ada.

“Pernah ada yang belajar membuat wayang disini, tapi tidak diteruskan, katanya tidak sanggup,” ujarnya.

Pasalnya, membuat wayang tidak hanya membuat. Tapi juga harus tahu filosofinya, terutama bagian-bagian dari wayang. Mulai dari karakter, postur, pemilihan warna dan seterusnya. Baca juga: Ribuan ‘Wayang’ Meriahkan HUT ke-261 Kota Yogyakarta

“Saya saja dulu belajar wayang enam tahun itu belum diakui,” tandasnya.

Makanya ia tidak heran regenerasi pengrajin wayang semakin sulit di era modern saat ini. Karena harus ekstra sabar dan telaten.

“Belajar wayang tidak bisa langsung serta merta, bisa-bisa butuh puluhan tahun,” tukasnya.

Membuat wayang tidak bisa sembarangan, lanjutnya, harus sedetail mungkin dan mengenal karakter dari tokoh wayang. Bentuk tubuh proporsional, raut muka, ukuran lebarnya mata dan seterusnya.

Lihat juga...