[Review] ‘Hujan Bulan Juni’: Balada Cinta Sarwono dan Pingkan
JAKARTA — //tak ada yang lebih tabah/ dari hujan bulan juni/ dirahasiakannya rintik rindunya/kepada pohon berbunga itu// … Sepenggal puisi berjudul ‘Hujan Bulan Juni’ karya Sapardi Djoko Damono yang kemudian jadi judul novel dan kini menjadi judul film ini yang multitafsir.
Sebuah film yang berusaha mengawinkan narasi film yang tersurat dengan puisi Sapardi Djoko Damono yang tersirat. Sutradara Hestu Saputra (Cinta Tapi Beda, Air Mata Surga) dan penulis skenario Titien Wattimena (The Butterfly, In the Name of Love) punya beban untuk mengawinkan medium film dengan puisi.
Film ini bukanlah tipikal film-film remaja pada umumnya. Film ini lebih dewasa, terutama jika kita melihat cara Sarwono dan Pingkan memaknai hubungan mereka. Keduanya sering membahas soal ketakutan jikalau salah satu dari mereka direbut orang. Ada masalah kompleks tentang perbedaan suku dan keyakinan dalam hubungan mereka. Keduanya tidak mewek, melodramatis atau cengeng ketika dihadapkan pada masalah kompleks seperti itu.
Kisahnya tentang Sarwono (Adipati Dolken) dan Pingkan (Velove Vexia), dua sejoli yang menghabiskan hidupnya di lingkungan universitas. Sarwono adalah akademisi antropologi dan Pingkan seorang dosen muda yang dapat kesempatan kuliah di Jepang selama dua tahun.
Takut kesepian dan khawatir kekasihnya direbut Katsuo (Kaukaro Kakimoto), Sarwomo mengajak Pingkan untuk menemaninya bertugas ke Manado. Di sanalah Pingkan bertemu dengan keluarga besar dari ayahnya, termasuk sepupu Ben (Baim Wong), yang membombardirnya dengan sejuta pertanyaan karena Sarwono seorang Jawa-Islam.
Kulit Sarwono yang cokelat dan logatnya yang Boso Jowo Alus jadi mudah dikenali. Dan hal tersebut menjadi bahan perbincangan keluarga Pingkan yang seorang keturunan Minahasa-Kristen.