Dengan berbagai upaya dan usaha yang dilakukan pihak Balai Besar TNLL antara lain sosisalisasi akhirnya masyarakat membentuk satu kelompok peduli maleo di Desa Tuva dan Saluki.
Kelompok peduli maleo yang terbentuk sejak 2005 ini menjadi mitra dari Balai Besar TNLL dalam hal melakukan berbagai kegiatan konservasi.
Nama kelompok itu adalah “cagar maleo”. Setiap ada kegiatan mereka selalu terlibat bersama dengan Balai Besar TNLL dalam melestarikan flora dan fauna di kawasan Taman Nasional.
Data TNLL menyebutkan jumlah populasi burung maleo di alam bebas dalam di wilayah tersebut saat ini sekitar 900an ekor masing-masing jatan dan betina.
Setiap bulan ada 10-15 ekor anak maleo hasil penangkaran dilepas ke alam bebas.
Salah satu keragaman spesies hewan khas ekosistem Wallacea adalah burung maleo (Macrocephalon maleo). Banyak cerita yang beredar soal burung maleo antara lain bahwa burung endemik Sulawesi ini merupakan burung antipoligami.
Keunikan lain burung maleo adalah akan pingsan beberapa waktu setelah bertelur dan jika terbang pasti berpasangan.
Ada saatnya burung kepala besar itu terbang sendiri, ketika itu berarti pasangannya sudah mati. Maka bisa dikatakan maleo ini satwa monogami.
Burung maleo terlihat cantik dengan panjang sekitar 55 cm memiliki tonjolan atau jambul keras berwarna hitam dan endemik Sulawesi ini dilindungi melalui PP No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, serta termasuk dalam daftar burung dengan kategori langka dan dilindungi secara internasional (endangered oleh International Union for Conservation of Nature / IUCN) dan daftar Appendix 1 dari Konvensi Perdagangan Internasional untuk Satwa Langka dan dilindungi (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora /CITES).