Tradisi di Lombok, Perempuan Wajib Bisa Menenun
MATARAM – Seorang perempuan paruh baya duduk dengan kedua kakinya terjulur lurus ke depan dan di atas kakinya terdapat benang-benang yang tersusun rapi memanjang terbentang di antara balok kayu.
Agar susunan benang tersebut tidak mengenai kaki maka salah satu balok tersebut ditarik dengan tali ke atas kemudian diberi pemberat.
Berkali-kali tangan kanan perempuan itu memasukkan benang di antara benang-benang yang tersusun memanjang itu kemudian dirapatkan menggunakan bagian dari alat tersebut.
Dengan ketekunan dan kesabaran perempuan tersebut menyusun benang-benang itu terbentuklah selembar kain dengan motif-motif menarik sesuai yang diinginkan.
Begitulah pekerjaan sampingan seorang perempuan di Desa Sukarara, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam menenun kain songket. Desa Sukarara merupakan penghasil kerajinan tenun songket di Lombok yang sudah dikenal luas oleh para wisatawan.
Seorang penenun kain songket yang mendemonstrasikan keterampilannya di toko oleh-oleh kain tenun songket “Dharma Bakti” di Desa Sukarara, Sumianah (38) mengatakan, dirinya sudah mulai menenun sejak puluhan tahun lalu.
Dia mengaku belajar menenun sejak di sekolah dasar dan perempuan suku Sasak baru boleh menikah setelah dia bisa menenun. Anak lulus sekolah dasar biasanya sudah bisa menenun.
“Kami belajar menenun secara turun-temurun dan seorang perempuan harus bisa menenun karena sebagai salah satu syarat untuk bisa berumah tangga. Tradisi ini masih berlangsung hingga sekarang,” katanya, belum lama ini.
Menurut dia satu lembar kain tenun songket dengan lebar sekitar 60 centimeter dan panjang dua meter bisa diselesaikan antara dua minggu hingga satu bulan, tergantung motifnya.