Usai Digunakan, Ogoh-ogoh Harus Dibakar
DENPASAR – Akademisi pengajar filsafat Hindu di Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar, I Kadek Satria, MPdH., mengatakan, ogoh-ogoh harus dibakar di kuburan, usai diarak pada saat Pengerupukan atau sehari sebelum Hari Suci Nyepi.
“Seringkali yang menjadi persoalan adalah ketika ogoh-ogoh dibuat dengan sangat baik, dengan bahan yang begitu besar, namun enggan dibakar. Ini adalah bentuk ketidaktulusan, padahal seharusnya “dipralina” atau dikembalikan pada asalnya dengan cara dibakar,” kata Satria, di Denpasar, Rabu (14/3/2018).
Satria menambahkan, ogoh-ogoh merupakan bentuk ilustrasi dari bhuta kala atau sosok yang berbadan besar dan menyeramkan. Ogoh-ogoh, sekaligus menjadi kreativitas generasi muda untuk membentuk penyomian (mengubah unsur negatif menjadi positif) dalam bentuk nyata yang bisa dilihat.
“Kalau dilihat di dalam lontar, tidak ada satu pun lontar yang menyatakan bahwa saat Pengerupukan itu harus menggunakan ogoh-ogoh sebagai sarana untuk Pengerupukan. Namun, ini menurut saya adalah bentuk kreativitas yang berdasar karena pada pagi atau siangnya itu, umat Hindu melakukan ‘penyomian’ dengan menggelar ritual Tawur Kesanga,” ucap akademisi di Fakultas Pendidikan Agama dan Seni Unhi Denpasar itu.
Jadi, ujar Satria, ogoh-ogoh merupakan “nyomia” dalam bentuk “sekala” atau yang nyata dilihat oleh generasi muda karena sebagian besar pemahaman umat tidak bisa mencakup abstrak, sehingga untuk lebih mudahnya dibuat ogoh-ogoh.
“Karena ogoh-ogoh sebagai sarana ritual, maka ada proses ritual, yakni ada ritual pemlaspas, urip-urip, dan selanjutnya diarak mengelilingi desa, yang pada akhirnya ogoh-ogoh dibakar di kuburan,” ucapnya.