Pendewasaan Usia Perkawinan Butuh Optimasi Pendidikan

Editor: Mahadeva

Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorum Niam Sholeh pada Pra Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI VI di Hotel Margo City, Depok, Jawa Barat, Sabtu (28/4/2018) sore. Foto : Sri Sugiarti.

Terkait pernikahan anak SMP yang digelar di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 5 April 2018 lalu. Niam mengatakan, soal disetujui Kantor Urusan Agama (KUA) itu adalah otoritas. “Undang-undang 1/1974 tentang Perkawinan, itu sudah sangat antisipasi. Usia dewasanya itu lebih maju dari UU perkawinan anak, yaitu usia 21 tahun,” jelasnya.

Dengan usia 21 tahun, maka  seseorang sudah bisa mandiri untuk menentukan kemauan secara otonom. Baru kemudian begitu dibawah 21 tahun ada dispensasi, tetapi harus seizin orang tua. Kalau dibawah itu harus izin melalui pengadilan agama dalam hal ini KUA.

Izin itu didasarkan pada  kondisi faktual. Jadi dalam kondisi seperti ini ada kondisi kekhususan yang harus berlaku hukum khusus juga. Atas dasar pertimbangan yang bersifat subyektif kondisi anak yang bisa jadi di sini tidak boleh, tapi di sana boleh. Atau bisa jadi karena ada satu  kemaslahatan yang tidak dicapai, ditempat lain tidak boleh.

“Sangat mungkin. Tapi aturan umumnya usia dewasa adalah usia 21 tahun. Baru kemudian ada dispensasi, untuk usia 19 untuk laki-laki dan usia 16 tahun untuk perempuan,” tutupnya.

Lihat juga...