[Review] “Pendayung Terakhir”, Kegelisahan Para Pendayung di Kota Ambon

Editor; Irvan Syafari

MALANG — Pada April 2016 Presiden Jokowi meresmikan mega proyek jembatan Merah Putih yang merupakan jembatan terpanjang di Indonesia Timur, yang menguras dana 700 milyar rupiah lebih Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Di bawah jembatan megah ini, sejak 1950 transportasi sampan telah beroperasi melayari Teluk Ambon. Dan lebih dari 200 kepala keluarga menggantungkan hidupnya dari pendapatan mendayung perahu. Jembatan ini menjadi ikon baru kemajuan Kota Ambon, namun perlahan membunuh mata pencaharian para pendayung perahu.

Demikian kalimat pembuka yang tertulis pada menit-menit awal film dokumenter berjudul “Pendayung Terakhir” garapan Ali Bayanudin Kilbaren.

Melalui sederet tulisan kalimat pembuka dengan latar pemandangan kemegahan jembatan Merah Putih di atas birunya laut, sutradara Ali Bayanudin seakan ingin memberikan sedikit gambaran mengenai apa yang akan disampaikan dalam film yang berdurasi 17:56 menit tersebut.

Benar saja, dalam film dokumenter pendek Pendayung Terakhir tersebut mengangkat kegelisahan Arif Ren’el (57) seorang pendayung perahu tradisional dengan rute Desa Galala, Kecamatan Baguala – Desa Poka, Kecamatan Teluk Ambon yang terancam tidak bisa menafkahi keluarganya akibat kehilangan mata pencaharian setelah berdirinya jembatan Merah Putih.

Pada adegan awal dalam film besutan mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan dakwah IAIN Ambon ini, menggambarkan aktivitas keseharian Arif Ren’el yang bersiap berangkat mendayung untu menjemput rezeki. Dalam adegan tersebut, karena rumah Arif tidak terlalu dekat dengan laut, ia pun harus naik ojek menuju tempat perahunya disimpan di dekat laut.

Lihat juga...