Rehabilitasi psikososial menjadi penting karena korban yang selamat maupun keluarganya tetap harus bisa melanjutkan kehidupannya secara wajar, misalnya tetap melanjutkan pendidikan maupun tetap memiliki mata pencaharian pasca menjadi korban terorisme.
LPSK menyebut pada beberapa kasus korban merupakan tulang punggung keluarga, sehingga keluarga menjadi kehilangan orang yang penting dalan kelanjutan hidupnya sehari-hari ataupun jika selamat, mereka sulit untuk bekerja atau beraktivitas seperti sebelum menjadi korban.
Apalagi UU ini juga mengukuhkan LPSK sebagai lembaga yang melakukan upaya pemenuhan hak-hak korban terorisme.
“UU ini sangat operasional dimana diatur dan ditunjuk pula siapa yang memenuhi hak korban. LPSK siap melakukan mandat ini, apalagi memang sebelumnya kami sudah menangani korban terorisme,” ujar Semendawai.
LPSK sendiri siap mendukung pelaksanaan UU tersebut sesuai kewenangan yang dimiliki LPSK. LPSK melihat bahwa kedua UU tersebut tidak tumpang tindih, melainkan saling menguatkan.
“Sehingga layanan pemenuhan hak korban terorisme akan semakin optimal,” ujar Semendawai.
Selain mempertimbangkan hak korban, UU tersebut juga sudah memperhatikan perlindungan kepada saksi kasus terorisme dan itu sejalan dengan amanat yang didapatkan LPSK dari UU Perlindungan Saksi dan Korban.
“Maka UU ini sangat penting dalam mendukung perlindungan kepada saksi dan ahli yang memberikan keterangan untuk kasus terorisme, dan memperkuat layanan kepada korban,” pungkas Semendawai. (Ant)