Pak Harto Terbang ke Yogyakarta dengan ‘Pantjasila’
Oleh: Mahpudi, MT
Catatan Redaksi:
Dalam catatan berseri ini, Redaksi Cendana News, selain menurunkan sejumlah tulisan dan liputan berbagai acara, juga menampilkan berbagai aktivitas. Salah satunya, catatan ekspedisi Incognito Pak Harto pada 2012.
Ekspedisi dilakukan oleh sebuah tim dari YHK, terdiri dari Mahpudi (penulis), Bakarudin (jurnalis), Lutfi (filatelis), Gunawan (kurator museum), serta salah satu saksi sejarah peristiwa itu, Subianto (teknisi kendaraan pada saat incognito dilaksanakan).
Meski sudah cukup lampau ekspedisi itu dilakukan, dan hasilnya pun sudah diterbitkan dalam buku berjudul Incognito Pak Harto –Perjalanan Diam-diam Seorang Presiden Menemui Rakyatnya (2013) dan Incognito – The President Impromptu Visit (2013) serta Ekspedisi Incognito Pak Harto –Napak Tilas Perjalanan DIam-diam Seorang Presiden Menemui Rakyatnya (2013) , namun hemat kami, catatan ekspedisi yang ditulis oleh Mahpudi dalam beberapa bagian ini tetap menarik untuk disimak.
Sebab, seperti disimpulkan oleh penulisnya, peristiwa blusukan ala Pak Harto yang terjadi pada 1970 ini sangat patut dijadikan salah satu tonggak sejarah nasional Indonesia.
Selamat Membaca.
Etape pertama ekspedisi menapaki kembali incognito “blusukan” Pak Harto kami akhiri di Kota Sukabumi. Setelah mengunjungi Pesantren Al Masthuriyah-Tipar, rombongan memecah diri, sebagian kembali ke kota Jakarta dan sebagian lagi ke Bandung.
Ini sebuah perjalanan yang melelahkan, namun banyak membawa temuan yang begitu berharga tentang sebuah peristiwa bersejarah, yang sampai saat ini masih belum banyak dipelajari oleh para sejarawan. Sebuah peristiwa yang semestinya dicatat dalam buku-buku sejarah nasional kita.
Betapa tidak? Seorang Presiden Indonesia, bahkan mungkin satu-satunya di dunia, yang menghabiskan waktu selama seminggu penuh, melepaskan diri dari kesibukan protokoler kenegaraan, berkeliling dari kampung ke kampung, dari desa ke desa, guna menemui rakyatnya secara diam-diam.
Ya, Presiden Soeharto melakukan itu untuk pertama kalinya pada 6 April 1970, dengan mengunjungi sedikitnya 12 kota di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Tak terbilang banyaknya rakyat yang didengar keluh kesahnya, menginap di rumah-rumah penduduk atau mess proyek, dan menikmati makan siang maupun malam bersama penduduk atau tokoh masyarakat setempat.
Pada beberapa tempat yang dikunjunginya, Pak Harto menghibur rakyatnya dengan memutarkan film dalam acara nobar di halaman kelurahan. Pada kesempatan lain, bersilaturahmi dengan sejumlah kiai dan ulama untuk memohon doa dan dukungan bagi pelaksanaan tugasnya sebagai kepala negara.
Album foto incognito yang merupakan panduan utama tim ekspedisi mengabarkan, bahwa perjalanan Pak Harto dari Jakarta hingga Tegal dan Purwokerto dan berbalik hingga ke Sukabumi, baru bagian pertama dari “blusukan” yang dilakukannya. Masih ada satu album lagi yang menunjukkan, bahwa selang beberapa waktu kemudian, tepatnya pada 20 April 1970, incognito kembali dilanjutkan.

Kali ini, Pak Harto bersama rombongan menelusuri wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur, dan berakhir di Pulau Bali. Tim ekspedisi pun memutuskan untuk melanjutkan napak tilas kedua, mengikuti jejak Pak Harto yang dimulai pada 5 Juni- 2012.
Berbeda dengan perjalanan incognito etape pertama yang dimulai Pak Harto dari kediaman Jalan Cendana, maka etape kedua dimulai dari kota kelahiran Sang Presiden, yakni Yogyakarta.
Pada 20 April 1970, Pak Harto dan rombongan terlebih dahulu menumpang Pesawat PANTJASILA milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), dari Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma Jakarta menuju Lapangan Udara Maguwo (kini Lapangan Udara Adisucipto, -red) Yogyakarta.
Sementara, minibus Toyota Hi-Ace yang hendak digunakan oleh rombongan Incognito Pak Harto, sudah diberangkatkan terlebih dahulu melalui jalur darat. Rombongan beristirahat semalam di Gedung Agung, Istana Negara di Jalan Malioboro, Yogyakarta.
Tim ekspedisi incognito kami pun terbang ke Yogyakarta. Sayangnya, tim tidak terbang menggunakan pesawat Pantjasila, hanya bisa dengan Garuda Indonesia. Maklum saja, Pesawat Pantjasila memang pesawat khusus kenegaraan pada masanya.
Tim pun tidak menginap di Gedung Agung, karena kami bukan presiden atau pejabat negara. Sebagai gantinya, kami mendapat kehormatan untuk menginap di rumah keluarga Bapak Soehardjo Soebardi di daerah Timoho, Yogyakarta. Tempat yang tak kalah nyaman untuk bersitirahat dan mengumpulkan tenaga untuk perjalanan esok hari.
Rombongan kali ini lebih lengkap. Selain Mahpudi (penulis), Bakarudin (jurnalis), Lutfi (filatelis), dan Pak Subianto (saksi sejarah), kini tim dilengkapi dengan Kresna (juru gambar), yang sepanjang jalan membuat ilustrasi lewat kepiawaiannya dalam menggambar, dan Deni Bagong (kameraman) yang dengan sigap merekam momen-momen penting dari ekspedisi ini.
