Ritus Mudik

OLEH TJAHJONO WIDARMANTO

Tjahjono Widarmanto. Foto: Istimewa

MENJELANG Lebaran Idul Fitri, jutaan manusia yang tersebar di berbagai kota metropolis di Indonesia digerakkan oleh sebuah kekuatan luar biasa untuk berduyun-duyun kembali pulang ke tempat asal muasalnya.

Fenomena eksodus besar-besaran menjelang Lebaran inilah yang populer disebut mudik. Fenomena ini merupakan sebuah ritus tahunan yang sulit dijelaskan apakah itu sebagai keajaiban fenomena agama, fenomena sosial ataukah fenomena budaya.

Dengan kata lain, mudik Lebaran ini merupakan sebuah “keajaiban” yang menakjubkan yang tidak tertandingi oleh ritus lainnya, baik di Indonesia ataupun belahan negeri yang lain dalam segi skala jumlah dan dinamika massa.

Terlibat dalam ritus mudik ini massa dalam jumlah jutaan bergerak berpindah secara ulang-alik dalam skala waktu seminggu atau dua minggu.

Eksodus besar-besaran ini tentu saja menjadi kerepotan tersendiri karena jumlah orang yang ulang-alik tidak sebanding dengan sarana transportasi yang tersedia, membuka peluang kriminalitas dan bahaya kecelakaan lalu lintas.

Menurut data Kementerian Perhubungan, jumlah pemudik tahun ini bisa mencapai lebih dari 40 juta orang dengan berbagai angkutan jalan raya; kereta, kapal laut, pesawat bahkan sepeda motor. Namun, anehnya, kerepotan dan kesulitan ini tidak pernah menyurutkan peristiwa mudik, bahkan dari tahun ke tahun jumlah massa senantiasa bertambah.

Di beberapa negara memang ada juga yang memiliki ritus mudik semacam ini. Di Amerika Serikat atau negara Eropa lain, misalnya, memiliki ritus christmas day dan thanksgiving day yaitu saling berkumpul dengan seluruh keluarga inti.

Tapi mudik christmas dan thanksgiving day mereka tak pernah sanggup menyaingi ritus mudik Lebaran di Indonesia dalam jumlah skala besar hingga jutaan orang. Mau tidak mau memaksa keterlibatan banyak pihak termasuk negara untuk ikut mengatur mekanisme mudik Lebaran.

Lihat juga...