Saling Membutuhkan

(Oleh: Siti Hardiyanti Rukmana)

Bila kuingat masa kecilku di Semarang —ketika Bapak menjadi Panglima Kodam Diponegoro—, dimana pada saat itu aku masih duduk di SR/Sekolah Rakyat (sekarang SD), di Kampung Kagog. Setiap hari Minggu, ibu selalu mengajak aku untuk mencuci pakaianku sendiri dan pakaian bapak ibu. Saat-saat indah dan berkesan dengan ibu yang tak pernah aku lupakan.

Tadinya aku tidak mengerti kenapa kami harus mencuci sendiri baju-baju. Padahal ada pembantu (sekarang poluler dengan ART /Asisten Rumah Tangga) yang nyuci.

*

Aku tanya ke ibu : “Bu kenapa kita harus mencuci sendiri, kan sudah ada yang nyuci bu?”

“Ngene (begini) wuk (nak), memang sudah ada yang nyuci, tapi ibu ingin kamu tahu dan merasakan seperti apa kalau nyuci pakaian sendiri. Jadi kamu bisa tahu juga rasanya mereka bekerja.”

Saya belum puas dengan jawaban ibu : “Tapi bu itu kan memang pekerjaan mereka, makanya dibayar oleh bapak dan ibu.”

“Betul yang kamu katakan wuk, disini ibu ingin supaya setelah merasakan apa yang mereka kerjakan, kamu bisa menghargai mereka, mereka juga manusia biasa yang bisa capek, jadi kita tidak akan menyuruh mereka semena-mena,” Ibu menjelaskan dengan sabar.

“Jadi kita juga musti baik dengan mereka ya bu,” kata saya sambil memilah pakaian putih dan berwarna.

Aku, Sigit (kanan) dan Bambang (kiri) , ketika tinggal di Semarang tahun 1958-an. Dokumen Siti Hardiyanti Rukmana

Sambil merendam pakaian kotor ke dalam ember berisi air, ibu menuturkan: “Pinter kowe ngger (kamu nak) …. Kamu musti menyadari, kalau nggak ada mereka, semua harus kita kerjakan sendiri. Kamu bayangkan kalau semua kita kerjakan sendiri, pulang sekolah kamu cuci pakaian, setrika, nyapu lantai, ngepel, bersihkan kamar tidur, bantu masak, cuci piring dan gelas dan lain-lain sebagaimana yang mereka kerjakan. Belum bikin PR. Kowe mesti kesel banget (kamu pasti capek sekali).”

Lihat juga...