Sastra dan Peradaban Sungai
OLEH TJAHJONO WIDARMANTO
PERADABAN sungai dan budaya sungai merupakan karakteristik dari negara agraris. Peradaban sungai banyak memberi warna pada peradaban dunia. Kebudayaan-kebudayaan raksasa dunia berbasis sungai, seperti Mesir kuno, Tigris, Efrat, Indus (India kuno), China kuno, dan sebagainya menjadi barometer tingginya peradaban.
Di Nusantara (boleh dikatakan sebagai Indonesia kuno), kebudayaan Sriwijaya dibangun oleh basis Sungai Musi dan Batanghari. Kebudayaan Kediri dan Majapahit ditata dari basis Sungai Brantas. Walaupun menitiktekankan pada budidaya agraris, namun memiliki kesadaran bahwa peradaban sungai memiliki peran dunia yang vital.
Air dan sungai menjadi pusat spiritual terpenting Majapahit. Dari penemuan-penemuan arkeolog dijumpai petirtaan, blumbang-blumbang yang disucikan yang diyakini mengalirkan amerta atau air suci.
Jaladwara atau pancuran berwujud mulut-mulut taksaka, makara, dan segaran kolam suci yang panjang dan tak pernah kering hingga kini adalah simbol sungai: air yang mengelilingi Jawadwipa.
Konsep-konsep mitreka satata dan jalesveva jayamahe menggambarkan dengan jelas konsep dan strategi politik yang berbasis air.
Pembangunan kota peradaban Indonesia masa lampau selalu diawali dari pembangunan saluran air terlebih dulu. Masyarakat Indonesia kuno meyakini bahwa manajemen sungai, manajemen air, adalah peran utama dalam pembangunan kota.
Bukan sebaliknya, membangun pemukiman lebih dulu baru kemudian membuat saluran air. Hal itu bisa diamati dengan seksama pada reruntuhan kota Sriwijaya di Karanganyar Palembang dan Majapahit di Trowulan, yang melalui satelit tampak bahwa reruntuhan dua tempat itu banyak memiliki saluran-saluran air yang teratur serta bentuknya tertata rapi.