Gakkum KLHK Sita Tujuh Ekskavator Tambang Ketapang
JAKARTA – Tim gabungan Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) dan Polda Kalimantan Barat, menyita tujuh ekskavator dari aktivitas pertambangan bauksit tanpa izin, di Hutan Produksi Konversi (HPK) Sungai Tulak.
Pertambangan tersebut dilakukan oleh PT Laman Mining. Tujuh ekskavator, tersebut disita dari Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang. Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan KLHK, Sustyo Iriyono mengatakan, penyidik KLHK menetapkan PT Laman Mining secara koorporasi sebagai tersangka, dan masih terus memeriksa unsur direksi dan komisaris, yang diduga sebagai aktor intelektual dalam kegiatan illegal tersebut.
Perusahaan tambang bauksit PT Laman Mining, membawa tujuh alat berat ekskavator untuk digunakan dalam kegiatan penambangan bauksit di kawasan HPK Sungai Tulak Kabupaten Ketapang. “Aktivitas tersebut terjadi di dua Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang berbeda tanpa izin,” jelasnya, Minggu (26/8/2018).
Kawasan hutan Sungai Tulak yang dieksploitasi PT Laman Mining merupakan buffer zone dari Taman Nasional Gunung Palung. Lokasi tersebut juga merupakan salah satu habitat orangutan, sehingga sangat penting untuk dijaga habitatnya agar tidak rusak.
Terkait dengan kasus tambang illegal di lanskap Sungai Putri Gunung Palung tersebut, Dirjen Gakkum KLHK, Rasio Ridho Sani mengatakan, kegiatan tambang ilegal harus ditindak tegas, apalagi pelakunya korporasi. “Mereka harus dihukum seberat-beratnya, mereka ini tidaknya hanya merugikan negara, mereka telah merusak ekosistem dan habitat satwa, serta mengancam kehidupan masyarakat,” katanya.
Penyidik KLHK menetapkan, PT Laman Mining sebagai tersangka, berdasarkan dua alat bukti yang cukup. Perusahaan tersebut diduga telah melanggar Undang-undang No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Pasal 89 Ayat 2 Huruf a dan/atau Huruf b. Pelanggaran tersebut, ancaman hukumannya, penjara paling singkat delapan tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda paling sedikit Rp20 miliar dan paling banyak Rp50 miliar.