Nelayan Gunakan Rumpon Siasati Larangan Dekati GAK

Editor: Koko Triarko

LAMPUNG – Gunung Anak Krakatau (GAK) yang masih mengalami erupsi dalam tiga bulan terakhir, membuat nelayan dilarang mendekat ke wilayah tersebut. Sejumlah nelayan di pesisir Lampung Selatan, seperti Bakauheni, Ketapang, Rajabasa dan Kalianda, pun mengaku telah mengetahui larangan tersebut.
Hendra (35), nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Piluk Bakauheni, menyebut, aktivitas GAK sudah terjadi sejak Juni lalu, meski bagi sejumlah nelayan tidak berpengaruh signifikan. Sejumlah nelayan sudah mendapat imbauan untuk mendekat pada jarak tertentu dari GAK.
Sebab, katanya, selama ini perairan sekitar Krakatau menjadi lokasi mencari ikan, terutama bagi pemilik kapal bagan congkel pencari ikan teri, cumi-cumi dan berbagai jenis ikan.
Mematuhi imbauan dari pihak terkait, Hendra dan sejumlah nelayan lain memilih mencari ikan tak jauh dari perairan Bakauheni, di antaranya di dekat Pulau Kandang Balak, Pulau Sangiang dan Pulau Kandang Lunik.
Subandi, (baju merah) bersama sejumlah nelayan Desa Kunjir Kecamatan Rajabasa, membuat rumpon dari daun kelapa, untuk mencari ikan selama larangan mendekati Gunung Anak Krakatau yang tengah erupsi [Foto: Henk Widi]
“Nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan memang sudah mendapat imbauan, agar tidak mendekat GAK, namun sebagian ada yang nekat, karena di dekat Krakatau memang menjadi lokasi pencarian ikan favorit,” terang Hendra, saat ditemui Cendana News, Minggu (5/8/2018).
Selain nelayan Bakauheni, sejumlah nelayan di Desa Kunjir, Kecamatan Rajabasa, juga tidak melaut di sekitar GAK yang sedang erupsi.
Subandi (36), nelayan bersama nelayan tangkap lain jenis bagan mini, mengaku memilih melakukan penangkapan ikan tak jauh dari bibir pantai Kunjir. Pembuatan rumpon dengan pelepah kelapa, ranting pohon dan berbagai jenis dahan menjadi cara memperoleh ikan tanpa harus mendekati GAK.
Menurutnya, pemanfaatan rumpon cukup efektif, dipadukan dengan keberadaan bagan mini dan bagan apung di wilayah tersebut. Sebagai nelayan ia menyebut erupsi GAK tidak dirasakan langsung oleh nelayan, karena material abu vulkanik tidak membahayakan kesehatan.
Ia juga mengaku, kerap melihat pada saat GAK erupsi pada malam hari, lava pijar disertai dentuman seperti suara guntur. “Bagi warga pesisir Rajabasa, suaranya seperti geledek dan sudah hal biasa kalau Krakatau erupsi, tapi warga pesisir tidak pernah kuatir,” terang Subandi.
Subandi menyebut, puluhan tahun tinggal di pesisir Selat Sunda yang berdekatan dengan GAK, tidak pernah merasakan bahaya akibat erupsi gunung api di Selat Sunda tersebut.
Sejumlah nelayan, bahkan masih tetap melaut untuk memenuhi kebutuhan dengan menangkap ikan dan menjualnya di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kunjir.
Sementara, rumpon pada sejumlah titik pada area seluas satu hektare, dibuat secara berkelompok untuk memancing ikan berkumpul.
Langkah pembuatan rumpon sebagai cara menyiasati larangan mendekati GAK saat erupsi, sebetulnya sudah menjadi cara rutin penangkapan ikan. Namun selama erupsi GAK, pembuatan rumpon ditambah di beberapa titik dengan tanda khusus.
Rumpon yang berada jauh dari lintasan kapal kargo dan kapal penumpang di Selat Sunda, membantu menambah hasil tangkapan ikan.
“Pengaruh secara langsung bagi nelayan tidak ada selama GAK erupsi, namun mematuhi larangan dari pihak terkait, nelayan melaut di lokasi yang jauh dari GAK,” beber Subandi.
Seperti diberitakan sebelumnya, pascaerupsi pada Jumat (3/8), Kepala Pos Pantau GAK Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Andi Suardi, memastikan larangan nelayan dan wisatawan mendekat ditetapkan berjarak satu kilometer.
Namun, terakhir, radius larangan beraktivitas di dekat gunung api Selat Sunda tersebut diperluas menjadi dua kilometer. Larangan dilakukan untuk menjamin keselamatan dan mengantisipasi hal tak diinginkan selama nelayan melaut.
Lihat juga...