Dilema Perda Kawasan Tanpa Rokok
Editor: Satmoko Budi Santoso
DENPASAR – Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Bali No.10/2011 harus direvisi karena memuat beberapa aturan yang kontradiktif dengan peraturan yang berlaku saat ini. Salah satu contohnya, tidak menjamin diperbolehkannya keberadaan tempat khusus merokok di tempat kerja dan tempat umum.
Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo, menuturkan, perda KTR Bali jelas bertentangan dengan Pasal 51 PP 109/2012 tentang keharusan menyediakan tempat khusus untuk merokok dan putusan MK No.57/PUU-IX, tentang kewajiban menyediakan tempat khusus merokok.
“Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa tidak pernah menempatkan rokok sebagai produk yang dipublikasikan, diperjualbelikan dan tidak pernah menempatkan tembakau dan cengkeh sebagai produk pertanian yang dilarang. Sehingga rokok adalah produk yang legal, terbukti dengan dikenakannya cukai terhadap rokok dan tembakau,” ucap Budidoyo dalam diskusi yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Denpasar bertema “Perda KTR, Apakah Implementatif” yang digelar di Denpasar, Sabtu (15/9/2018).
AMTI mengharapkan, ke depan pemangku kepentingan industri hasil tembakau dapat dilibatkan dalam perumusan peraturan terkait KTR di Bali. Menurutnya, perjuangan AMTI dalam penyusunan PP 109/ 2012 bukan soal menang-menangan. Yang dicari adalah jalan tengah dalam mengatur produk tembakau, dalam hal ini rokok.
“Kami punya aktivitas merokok, tapi kami lakukan tidak di sekolah, rumah sakit, bus,” imbuh Budidoyo.
Menjawab pertanyaan, masih banyaknya anggota DPRD yang merokok saat rapat di Gedung Dewan, Nyoman Parta mengakui ada inkonsistensi pada kawan-kawannya. Dia pun meminta seharusnya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tidak takut menindak anggota DPRD yang melanggar Perda KTR.