Petani Kakao di Lamsel Terpaksa Jual Hasil Panen Saat Harga Anjlok

Editor: Koko Triarko

LAMPUNG — Sejumlah petani di Kabupaten Lampung Selatan, memilih tetap menjual hasil pertanian kakao, meski harga sedang anjlok, karena tak memiliki gudang penyimpanan dan mesin pengering.
Subandi, salah satu petani kakao di desa Banjarmasin kecamatan Penengahan menyebut saat hasil panen minim, harga kakao di level petani mulai mengalami penurunan. Kondisi tersebut ditambah dengan tidak dimilikinya mesin pengering untuk mengawetkan kakao untuk dijual ketika harga naik.
Subandi dan sejumlah petani lain, masih mengeringkan kakao dengan memanfaatkan sinar matahari. Imbasnya, hasil pengeringan kurang sempurna dan kerap harus disortir untuk menentukan biji kakao berkualitas.
Kondisi tersebut berbeda dengan pengepul kakao yang menerima hasil penjualan kakao dari para perantara jual beli kakao (cengkau), yang memiliki mesin pengering elektrik.
Pengeringan secara manual dengan sinar matahari diakui Subandi bisa dilakukan selama lima hari, sementara dengan mesin bisa dilakukan selama satu hari.
“Kualitas kakao yang dijemur dengan memanfaatkan sinar matahari kerap rendah, karena bisa terkena jamur saat hujan turun, kotoran serta warna kurang menarik berimbas harga turun,” terang Subandi, Senin (17/9/2018).
Subandi menambahkan, setelah penjemuran dengan sinar matahari, pemilahan (sortir) dilakukan untuk memilih biji kakao berkualitas. Pemilahan dilakukan berdasarkan kecerahan warna biji kakao kering yang dijemur, karena semakin cerah kualitas kakao akan semakin baik.
Saat hujan serta gerimis tiba-tiba turun, jamur dan warna kusam kerap mengurangi kualitas kakao dan berimbas harga kakao rendah, hanya senilai Rp19.000 per kilogram. Jenis kakao berkualitas baik, disebutnya dijual seharga Rp22.000 per kilogram.
Namun, ia tetap menjual kakaom meski harga rendah akibat terkendala tidak memiliki mesin pengering sekaligus mesin penyimpan. Kebutuhan hidup sekaligus menjadi penyebab petani seperti dirinya, menjual kakao. Sementara, sejumlah pemilik usaha jual beli kakao memiliki teknik penyimpanan sekaligus mesin pengering kakao, sehingga bisa menjual biji kakao ketika harga membaik.
“Petani kakao di kaki Gunung Rajabasa, umumnya tidak memiliki sawah sehingga terpaksa menjual kakao untuk membeli beras,” terang Subandi.
Salah satu pemilik usaha jual beli kakao, Ugran, warga Desa Padan, Kecamatan Penengahan, mengakui anjloknya harga kakao dalam kurun tiga bulan terakhir.
Menurutnya, komoditas kakao berbeda dengan komoditas pertanian lain terkait pasokan dan harga. Sebab, harga kakao akan mengalami kenaikan saat masa panen raya, dan justru menurun ketika hasil panen kakao terbatas.
Sejumlah pemilik modal memiliki alat pengering elektrik, mesin sortir, penyimpan biji kakao, sehingga bisa dijual saat harga naik.
Sebagai pemilik usaha dengan modal terbatas, Ugran membeli kakao dari petani memperhitungkan kualitas. Ia harus menggunakan alat penghitung kadar air untuk menentukan harga jual.
Sebab, kakao dengan hasil penjemuran selama dua hari masih memiliki kadar air tinggi, sehingga harga jual lebih rendah. Sementara kakao dengan kualitas pengeringan empat hari, memiliki kualitas bagus dengan harga jual lumayan.
Harga beli kakao dari petani saat ini, disebut Ugran untuk kualitas kakao kualitas bagus maksimal, hanya seharga Rp25.000 per kilogram.
Harga tersebut lebih rendah dibandingkan saat puncak masa panen bisa mencapai Rp35.000, untuk kakao kualitas bagus. Harga kakao kualitas sedang dibeli seharga Rp20.000 per kilogram, dan kualitas biasa seharga Rp17.000 per kilogram. Ia harus membeli dari ratusan petani untuk mendapatkan kuota penjualan ke pengepul besar sebanyak dua ton per pekan.
“Kakao kering yang sudah disortir, akan disimpan dalam karung dan akan dijual ke pengepul besar,” terang Ugran.
Ugran mengakui, pada masa panen penyelang bulan Agustus hingga Oktober, hasil panen petani kakao mengalami penurunan. Saat kondisi normal, sejumlah petani dalam setengah bulan bisa mendapatkan hasil panen 100 kilogram. Namun, kini maksimal hanya mencapai 30 kilogram. Pembungaan yang minim dan kendala musim kemarau menjadi penyebab penurunan hasil panen petani kakao.
Selain musim panen kakao yang masih terbatas, Ugran juga menyebut pertengahan September sejumlah petani masih mengalami panen cengkih. Ugran menyebut, sebagai pemilik usaha jual beli komoditas pertanian, ia kerap membeli cengkih, kakao, melinjo, kelapa dan berbagai buah buahan untuk dijual ke pengepul besar.
Lihat juga...