JAKARTA – Gubernur DKI, Anies Baswedan, mempertanyakan hasil penelitian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengenai penggusuran di zamannya. Sebab, sampai saat ini tidak ada berita penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI.
“Anda (wartawan) selama ini pernah nulis enggak ada penggusuran? Anda cek, ya,” kata Anies, di kawasan Stadion GBK, Senayan, Jakarta, Selasa, (16/10/2018).
Meski begitu, Anies tidak bisa menyimpulkan kalau data LBH Jakarta itu benar atau tidak. Yang terpenting, menurut Anies, LBH Jakarta harus bisa membuktikan adanya penggusuran, seperti yang disebutkan beberapa hari lalu.
“Saya enggak mau bilang enggak benar (pernyataan LBH). Yang mengatakan yang harus membuktikan, bukan saya yang membuktikan. Kan mereka (LBH) mengatakan, kok bisa Anda (wartawan) enggak pernah nulis soal penggusuran selama ini?” tuturnya.
Anies juga masih mempertanyakan data penggusuran itu kepada awak media. Pasalnya, Anies menilai jika memang masih terjadi penggusuran di era kepemimpinannya, pasti awak media sudah memberitakannya.
“Kok, bisa wartawan sampai enggak menulis? Karena itu, saya usul teman-teman wartawan carilah datanya ke mereka,” tutur Anies.
Sebelumnya, LBH Bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban, Charlie AlBajili, menyebutkan selama pemerintah provinsi DKI dipimpin oleh Gubernur Anies Baswedan, telah terjadi terjadi penggusuran di 91 titik di Jakarta. Penggusuran dilakukan terhadap kawasan hunian, unit usaha, serta gabungan antara hunian dan unit usaha.
“Ada 91 titik. Pada 2017 ada 12 titik, 2018 ada 79 titik, jadi total ada 91 titik penggusuran paksa,” ucap Charlie, di kantor LBH, Jakarta, Minggu (14/10).
Charlie merincikan, bahwa sepanjang 2017, Pemprov DKI menggusur paksa dua titik hunian di wilayah Kanal Banjir Barat pada 13 November. Kemudian juga menggusur paksa warga yang menempati lahan PT Kereta Api Indonesia di kawasan Cideng pada 30 Desember.
“Lahan KAI, tapi yang mengeksekusi Pemprov,” ucap Charlie.
Selain itu, masih pada 2017, Pemprov DKI di era kepemimpinan Anies, menggusur paksa 10 unit usaha, yang dilakukan sepihak atau tanpa musyawarah. Lalu, dua kasus tidak diketahui melalui musyawarah atau tidak.
Charlie mengatakan, penggusuran pun melibatkan aparat kepolisian dan TNI. Dengan kata lain, tidak hanya anggota Satuan Polisi Pamong Praja yang melakukan penggusuran.
Memasuki tahun 2018, tepatnya sepanjang Januari-September, terjadi penggusuran paksa di 79 titik, 60 di antaranya dilakukan Pemprov DKI. LBH Jakarta mencatat, 79 titik penggusuran terdiri dari 17 hunian, 53 unit usaha, dan 9 gabungan antara hunian dan unit usaha.
LBH juga mencatat, sedikitnya 366 kepala keluarga atau sekitar 1.141 anggota keluarga dan 866 unit usaha terkena penggusuran di 79 titik tersebut. Sekitar 64,81 persen dilakukan secara sepihak atau tanpa musyawarah dengan warga.
Lokasi penggusuran paling banyak terjadi di Jakarta Selatan, yakni sebanyak 23 titik yang terdiri dari 12 hunian dan 11 unit usaha.
Disusul wilayah Jakarta Pusat, yakni 22 titik, antara lain 3 hunian dan 19 unit usaha. Selanjutnya, di Jakarta Utara dan Jakarta Barat 12 titik dan Jakarta Timur 10 titik.
Charlie merujuk dari data LBH, penggusuran paksa di 79 titik di 2018 melibatkan 3.748 aparat gabungan. Penelitian ini dilakukan selama Januari 2017 hingga September 2018, atau pada era Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Djarot Syaiful Hidayat, dan Anies Baswedan.
Tim LBH melakukan penelitian dengan metode verifikasi dan observasi lapangan di 25 titik penggusuran pada 2017. Mereka juga menggunakan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tentang program penggusuran.
Selama Januari hingga September 2018, angka penggusuran oleh Pemerintah Provinsi DKI mencapai 75 persen. Angka itu menurun dibandingkan tahun 2017 yang mencapai 91 persen.
Tercatat, selama 2017 telah terjadi 110 kasus penggusuran paksa terhadap hunian dan unit usaha. Penggusuran itu menimbulkan 1.171 keluarga korban penggusuran dan 1.732 unit yang digusur.
Sedangkan selama periode Januari hingga September 2018, telah terjadi 79 kasus dengan jumlah korban mencapai 277 kepala keluarga, dan 864 unit usaha.
“Jumlah keduanya mengalami penurunan dibandingkan 2016 yang mencapai 193 kasus penggusuran, tapi mayoritas penggusuran masih dilakukan dengan melanggar HAM,” ucap Charlie.
Dalam penelitian tersebut, LBH Jakarta menemukan, selama 2017 sebanyak 80 persen penggusuran dilakukan secara sepihak. Angka itu meningkat pada Januari – September 2018, hingga 81 persen penggusuran yang dilakukan sepihak tanpa musyawarah dan solusi bagi warga terdampak.
Akibatnya, 93 persen penggusuran pada 2017 dan 77 persen penggusuran pada 2018 tidak menghasilkan solusi yang layak.
“Penggusuran paksa mengakibatkan munculnya tunawisma dan pengangguran, hal yang membuat penggusuran paksa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komisi HAM Perserikatan bangsa-bangsa pada 1993,” ucap Charlie.
Sebelumnya, semasa kampanye Pilkada 2017, Anies sempat menyatakan, bahwa dirinya menolak penggusuran yang dilakukan pemerintah sebelumnya. Dia mengutarakan hal tersebut, saat masih berkampanye sebagai calon gubernur berpasangan dengan Sandiaga Salahuddin Uno.