Jamasan dan Sidhikara, Upaya Merawat Tradisi Leluhur di Malang

Editor: Koko Triarko

MALANG – Jamasan pusaka dan shidhikara, merupakan salah satu tradisi yang terus dilestarikan masyarakat Jawa, untuk menjaga kondisi benda-benda pusaka yang dianggap memiliki tuah. Di Malang, jamasan pusaka rutin diselenggaran setiap bulan Sura dalam penanggalan Jawa.
Ketua penyelenggara jamasan pusaka Wendit, Sutrisno, menyebutkan, selama ini pada umumnya masyarakat masih banyak yang menilai negatif pada mereka yang memiliki benda pusaka, khususnya keris.
“Selama ini masyarakat masih menganggap, bahwa semua yang punya keris itu negatif. Bahkan, ada yang sampai melabeli sebagai dukun santet atau orang musyrik,” sebutnya, saat melakukan ritual penjamasan pusaka di taman wisata Wendit, Minggu (7/10/2018).
Ketua penyelenggara Jamasan pusaka Wendit, Sutrisno, menunjukkan puluhan benda pusaka yang akan dijamasi. –Foto: Agus Nurchaliq
Padahal, menurut Sutrisno, kalau mau dilihat lebih jauh lagi, semua Wali Songo memiliki keris. Seperti halnya keris Carubuk peninggalan Sunan Kalijaga yang selalu dijamasi setiap bulan Suro. Bahkan, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) telah mengakui keris sebagai warisan budaya dunia.
“UNESCO saja sudah mengakui keris sebagai warisan budaya dunia, jadi sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaga dan tetap melestarikan keris. Salah satu caranya dengan melakukan jamasan atau pencucian pusaka,” terangnya.
Lebih lanjut, Sutrisno menjelaskan, ada beberapa tahapan dalam proses jamasan pusaka. Pertama, melakukan upacara ritual pelolosan pusaka. Kemudian dilanjutkan dengan acara makan tumpengan, baru dilanjutkan prosesi jamasan.
“Nama jamasan sendiri berarti pembersihan angsar, yakni pemulihan daya yoni dan menghilangkan semua aura negatif pusaka,” jelasnya.
Setelah pelolosan, selanjutnya diberi dupa dan  kemenyan dengan prosesi ubo rampe lengkap berupa sesajen, di antaranya pisang, polo pendem dan jenang manca warna, yakni merah, kuning, hijau, putih dan hitam. Selanjutnya pusaka dicuici dengan menggunakan air jeruk, kelapa dan bunga setaman.
“Setelah dicuci dengan bunga setaman, kemudian keringkan untuk selanjutnya dibawa ke pendopo untuk sidhikara, yaitu memulihkan yoni pusaka. Seperti halnya baterai yang ngedrop, kemudian dicharg,” terangnya.
Prosesi penjamasan biasa dilakukan satu tahun sekali setiap bulan Sura. Tapi untuk tradisi di Wendit, dlaksanakan di akhir bulan Sura.
Sutrisno berharap, melalui kegiatan jamasan pusaka yang rutin diadakan setiap tahun, bisa menjadi sarana edukasi sekaligus pengenalan kepada masyarakat, bahwa peninggalan budaya leluhur, khususnya seni tempa besi harus dilestarikan dengan baik, bukan justru dianggap negatif.
“Intinya, melalui jamasan pusaka ini, kami ingin melestarikan budaya Jawa yang sudah ada turun-temurun sejak dulu,” pungkasnya.
Lihat juga...