KERINGAT merambat pelan dari pelipis Ranting, menggantung di dagu, lalu jatuh ke ujung jari kakinya. Udara panas memaksanya mandi keringat siang ini. Kembar dengan siang yang lain. Pohon angsana di depan rumah telah gundul.
Kemarau datang seperti tukang cukur yang memangkas habis daun-daun pohon itu. Pohon jati di belakang rumah tak kalah merana. Batangnya berwarna seperti abu, seakan kemarau telah memanggangnya diam-diam. Pohon-pohon yang malang, pikir Ranting.
Di halaman rumah, bougenvil menjelma bunga kertas sungguhan, bunganya yang merah muda semakin pucat, jika bergesek dihentak angin suaranya mirip lembaran buku yang dibuka tergesa-gesa.
Rumput-rumput di lapangan samping rumah, tempat biasa bocah-bocah laki-laki bermain bola, hanya menyisakan uban-uban yang tanggal satu persatu. Digantikan angin yang memusing. Melangitkan debu dan remah daun kering. Tanah lapang yang menyedihkan, pikir Ranting pula.
Kemarau memang ahli menjadikan segala sesuatu menjadi malang dan menyedihkan.
***
RANTING menatap nanar, “Aku benci kemarau.” Barangkali seperti kayu membenci api. Ranting memang dilahirkan untuk membenci kemarau. Mungkin sebab itulah ibunya memberinya nama Ranting.
Tetapi Ranting tak pernah membenci nama itu. Menurutnya, justru nama itu sangat indah. Ranting. Tempat tangkai bersandar. Tempat daun melebar. Tempat bunga-bunga mekar. Bahkan meskipun kemarau mengacaukan daun-daun, ranting tetaplah indah. Terlebih pada malam rembulan bulat. Ranting akan lebih indah.
Ia tampak seperti jari jemari yang menjawil rembulan. Menusuknya sampai ke dalam. Semenyedihkan apa pun keadaannya, ranting akan tetap indah. Ranting harus tetap indah. Hingga api mendatanginya melalui banyak jalan. Salah satunya, lewat kemarau panjang seperti ini.