Tarian Ranting

CERPEN MASHDAR ZAINAL

Ranting jengah menghitung hari-hari milik kemarau. Hari-hari yang terlalu gerah dan panjang. Seolah, dunia diciptakan tanpa malam. Hanya ada matahari yang menjerang. Terang. Menyilaukan. Dan mematikan.

Lima bulan lalu, hutan jati di pinggiran dusun didatangi tarian api. Bergejolak. Merambat. Dan meliuk-liuk. Tak seorang pun berani mendekati hutan itu. Ketika pasokan air untuk minum dan mandi sehari-hari saja susahnya minta ampun, bagaimana mungkin mereka membuang-buang air untuk memadamkan api.

Maka, hutan itu segera menjadi yatim piatu. Yatim piatu yang malang, yang akhirnya tak mampu bertahan oleh berangus api.

Tak ada sebatang kara. Yang ada hanya jutaan bara. Yang akhirnya bangkit serupa dendam. Dendam itu berwujud kabut yang menggerayangi dusun, bahkan sampai ke kota. Mengacaukan udara. Menyelusup lewat napas yang dihirup manusia. Membawa penyakit yang mencemaskan.

Selepas dendam kabut itu reda, sekitar sebulan silam, rumah tetangga tak luput dikunyah api, tanpa sembunyi-sembunyi. Tak ada manusia waras yang sengaja mengobarkan api di tengah kemarau. Karena, tanpa dikobarkan tangan manusia, kemarau bisa mengobarkan api dengan tangannya sendiri, semaunya.

Maka, rumah berdinding bambu anyam itu segera lantak bagai dikremasi. Menyisakan tangis dan ngilu hati.

Semenjak kemarau menjadi raja bagi hari-hari, Ranting jarang keluar rumah. Ranting memang tak pernah keluar rumah. Kapan Ranting keluar rumah? Ranting lebih suka mengembara ke dalam dirinya sendiri. Terkadang sampai tersesat tak bisa kembali. Ibunya telah memahami itu, melebihi kemarau memahami kekeringan.

“Jangan berdiri di situ, Ranting, udara di luar terlalu panas, bukankah jendela di depanmu itu telah menghangat,” kata ibunya saat melihat Ranting terdiam menatap keluar jendela.

Lihat juga...