Petani Garam di Aceh Minta Pemerintah Batasi Impor

BANDA ACEH — Sejumlah petani garam tradisional di Aceh meminta pemerintah membatasi keran impor garam, agar harga jual komoditas yang dihasilkan mereka tidak jatuh di pasar lokal.

“Kalau (garam) diimpor, ya boleh. Asal jangan sampai menurunkan harga jual petani di bawah Rp5.000 per kilogram,” ucap petani garam Azhari (51), di Desa Lamujong, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, Selasa (6/11/2018).

Ia mengatakan, dewasa ini harga garam rumah tangga diproduksi petani lokal secara tradisional di provinsi berjuluk “Bumi Serambi Mekkah” ini masih berada di kisaran Rp6.000 hingga Rp8.000 per kilogram. Kebijakan pemerintah yang menerbitkan izin impor garam sebanyak 3,7 juta ton tahun ini akibat sektor industri membutuhkan, ibarat buah simalakama bagi provinsi paling barat ini.

Jika garam impor telalu banyak beredar di Aceh, maka dikhawatirkan petani lokal terancam akan gulung tikar. Kalau tak diimpor, maka tidak cukup kebutuhan untuk rumah tangga dan industri. “Kita beli kayu untuk pengasapan selama tiga jam untuk satu kali masak, kan mahal. Satu truk, kita beli kayu sekitar Rp1 juta. Tapi kalau seperti sekarang ini Rp7.000, kan lumayan,” katanya.

“Pokoknya dalam sehari itu, garam rumah tangga yang kita produksi harus ada minimal 85 hingga 100 kilogram. Pembeli saat ini datang ke tempat kita,” ungkap Azhari yang menekuni petani garam sudah 25 tahun.

Abdullah (45), petani garam lainnya yang memproduksi secara tradisional mengaku, komoditas yang memiliki rasa asin tersebut masih seputar Aceh Besar, dan Banda Aceh.

Ia mengaku memproduksi garam kalangan industri di Aceh yang memiliki tekstur kasar, seperti biji jagung melalui proses penjemuran sinar matahari paling cepat 15 hari.

Lihat juga...