Presiden Soeharto: Dakwah Bertanggungjawab Perkuat Sendi Kehidupan Bernegara

Editor: Koko Triarko

JAKARTA – Tanggal 20 November 2018, umat Islam Indonesia memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW (12 Robiul Awal 1140 Hijriah). Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam, setelah Nabi Muhammad SAW, wafat.
Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad, yang membawa Umat Islam keluar dari zaman kegelapan menuju alam yang terang benderang dengan hadirnya Islam yang rahmatan lil’alamin, yang artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Pada zaman Ode Baru, dalam momen-momen peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Presiden Soeharto selalu memberikan pesan-pesan bijak kepada rakyat Indonesia, seperti pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di lstana Negara, pada Rabu 11 Oktober 1989.
Sebagaimana dilansir dari lama soeharto. co, Presiden Soeharto menyatakan, bahwa agama Islam mengajarkan untuk selalu bersikap optimis dalam menghadapi segala macam tantangan dan persoalan. Al-quran tegas-tegas menyatakan, putus asa adalah bukan sifat dan sikap seorang yang beriman. Seorang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW bukanlah orang yang lemah semangatnya.
“Kalau kita ingin panen, kita harus menanam. Kalau kita ingin berhasil, kita harus berusaha. Kalau kita ingin menang, kita harus berjuang. Ini adalah adat dunia. Karena itu, kalau kita ingin maju, ingin sejahtera dan ingin hidup dalam masyarakat yang berkeadilan, kita harus berani berjuang dan sanggup berkorban,” tegas Presiden Soeharto.
Presiden Soeharto menekankan, bahwa kita harus bersedia menunda kesenangan sekarang demi kesenangan yang akan datang. “Kita harus bersedia mendahulukan kepentingan masa depan dari pada kepentingan masa kini. Artinya, kita harus bekerja keras, tekun dan jujur demi kepentingan hari, demi generasi yang akan datang,“ kata Presiden Soeharto.
Menurut Presiden Soeharto, salah satu ajaran nabi Muhammad SAW yang sangat penting, yang dianggap sangat tepat bagi kita sebagai bangsa yang membangun ialah “semangat” menanam hari ini untuk dipetik hasilnya kelak, oleh generasi yang akan datang.
Keinginan untuk segera memetik hasil dari menikmatinya sendiri, dapat menjerumuskan kita ke dalam tindakan yang tidak benar.
Hal itu dapat mendorong kita, untuk berbuat apa saja, tidak peduli salah atau benar, halal atau haram demi kesenangan kita sekarang. Dan, hal itu akan melunturkan kesadaran dan tanggungjawab moral kita, sehingga kita tega mengorbankan kehidupan anak-cucu kita demi kesenangan kita sendiri.
“Agama kita mengajarkan, bahwa kesenangan hidup tidak hanya terdapat dalam masa panen, tetapi juga ketika kita sedang menanam. Bahkan, kita harus berpantang untuk panen tanpa menanam,” kata Presiden Soeharto, pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang antara lain dihadiri oleh para duta besar dan korps diplomatik negara-negara sahabat serta beberapa menteri Kabinet Pembangunan.
Pada bagian lain, Presiden Soeharto menyatakan, bahwa kita akan merasa bahagia, karena memperoleh kesempatan ikut serta dalam usaha pembangunan bangsa, sebaliknya kita akan merasa bersalah kalau kita justru melakukan tindakan merongrong pembangunan, apa pun bentuk dan wujudnya.
Ditegaskan, apa pun alasannya dan bagaimana pun bentuknya, rongrongan terhadap pembangunan tidak dapat dibiarkan. Demi kelancaran pembangunan, demi rasa keadilan dan ketenteraman masyarakat, maka penegakkan hukum merupakan syarat penting.
“Penegakkan hukum yang benar-benar ketat dan tanpa pandang bulu, merupakan syarat yang tidak boleh dikompromikan untuk membentuk etik kuat dalam kehidupan bangsa, sebaliknya kelemahan dalam bidang etika akan melemahkan bangsa dalam seluruh bidang kehidupan,” tandas Presiden Soeharto.
Sedangkan, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada 8 Februari 1979 di Istana Negara, sebagaimana dilansir dari sumber yang sama, Presiden Soeharto mengatakan, bahwa Nabi Muhammad SAW mengajarkan, bahwa umat manusia pada hakikatnya merupakan suatu “keluarga ilahi”, dan bahwa orang yang paling dicintai oleh Tuhan ialah mereka yang paling baik terhadap sesama keluarga ilahi.
“Karena itu, kesadaran bahwa kita pada hakikatnya adalah suatu keluarga, perlu dihayati, lebih-lebih bagi kita yang hidup sebagai satu bangsa dalam satu negara yang mengandung berbagai kemajemukan. Dan, memang cinta kekeluargaan itulah yang menjiwai dan mewarnai kebudayaan bangsa kita,“ tegas Presiden Soeharto.
“Cinta kekeluargaan itu harus kita resapi dan hayati bersama dalam mengembangkan kehidupan agama di Tanah Air kita,“ imbuh Presiden Soeharto.
Ada pun, pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, 4 Desember 1984, di Istana Negara, Presiden Soeharto mengajak umat Islam Indonesia untuk meresapi kembali kesadaran dan kesetia-kawanan sosial.
Hal tersebut selaras dengan hadits Nabi Muhammad SAW, yang mengatakan, bahwa tidak sempurna iman kita sebelum kita mencintai saudara-saudara kita seperti kita mencintai diri kita sendiri.
“Tanpa kesadaran dan kesetiakawanan sosial, maka persatuan dan kesatuan nasional tidak mungkin tercapai, padahal persatuan dan kesatuan nasional merupakan syarat mutlak untuk terwujudnya stabilitas nasional,“ tegas Presiden Soeharto.
Ditambahkan Presiden Soeharto, bahwa dengan kesadaran dan kesetiakawanan sosial, kita berharap tidak akan terjadi jurang sosial yang dalam dan lebar antara kalangan yang berpunya dan kaum yang tak punya.
“Kesadaran dan kesetiakawanan sosial itu lebih-lebih kita perlukan, karena pembangunan kita masih akan berjalan panjang, dan tidak akan sepi dari ujian dan tantangan. Dalam hal ini, bahwa dengan kesadaran dan kesetiakawanan sosial, maka beban yang berat akan dapat kita pikul bersama, dan beban yang ringan dapat kita jinjing bersama dengan rasa yang seikhlas-ikhlasnya,“ imbau Presiden Soeharto.
Dalam bagian lain amanatnya, Presiden Soeharto mengajak umat Islam untuk menyadari sedalam-dalamnya, bahwa menyusutnya peranan agama dalam kehidupan masyarakat akan buruk akibatnya bagi perkembangan masyarakat.
“Dalam rangka ini, maka merupakan kepentingan dan keperluan kita untuk menjaga dan memelihara kegiatan dakwah keagamaan,“ kata Presiden Soeharto.
Ditegaskan Presiden Soeharto, bahwa demikian penting arti dan pengaruh kegiatan dakwah keagamaan itu, sehingga pelaksanaannya meminta rasa tanggungjawab yang sebesar-besarnya bagi para penyelenggara dan para da’i.
“Dakwah yang bertanggungjawab adalah dakwah yang memperkuat sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, bukan yang mengakibatkan retaknya persatuan bangsa, menyesatkan dan mengganggu stabilitas nasional,“ tegas Presiden Soeharto.
Presiden Soeharto yang dikenal sebagai ‘The Smiling Jenderal’ itu memang selalu bersikap optimis. Sikap optimis ini sangat berkaitan erat dengan harapan akan sesuatu yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Dengan menjadi orang yang optimis, maka hidup kita bisa menjadi lebih baik. Sudah banyak penelitian mengenai optimisme, yang ternyata memiliki banyak sekali pengaruh, salah satunya adalah di bidang prestasi dan juga makna hidup.
Lihat juga...