Gasing Kayu Masih Lestari di Lampung Selatan

Editor: Koko Triarko

LAMPUNG – Kemajuan zaman dengan munculnya gawai berteknologi tinggi, tak lantas membuat sebagian anak-anak di Lampung Selatan melupakan permainan tradisional. Salah satunya adalah permainan tradisional gasing kayu.
Ronald, salah satu anak di Desa Ketapang, Kecamatan Ketapang, Lampung Selatan, menyebut permainan gasing kayu masih dilestarikan oleh anak-anak di wilayah tersebut.
Ronald yang duduk di kelas 7 salah satu Madrasah Tsanawiyah di Ketapang, mengaku setiap hari Minggu kerap bermain gasing. Lokasi berkumpul di antaranya di dekat pantai Ketapang yang luas, sekaligus mengisi liburan.
Gasing kayu bagi sejumlah anak di desa tersebut, kerap disebut pathon, pathu, atau begasingan. Alat untuk permainan gasing diakuinya terbilang sederhana, berupa gasing kayu dan tali kenur untuk memutar gasing.
Memainkan gasing dengan teknik umbar untuk memperoleh kemenangan bagi yang memiliki gasing berputar paling lama. -Foto: Henk Widi
Menurutnya, bermain gasing menjadi cara unik untuk berekreasi, sekaligus menciptakan kebersamaan. Bahan kayu yang melimpah membuat ia dan sahabatnya secara mandiri membuatnya sendiri.
Jenis kayu yang digunakan sebagai bahan pembuatan gasing, di antaranya kayu sentigi, kayu sawo, kayu apui, kayu akasia dan kayu lain yang mudah dibentuk.
Bentuk gasing yang umum dibuat menyerupai jantung, lonjong atau bundar, dengan perhitungan ukuran bisa berputar dan memiliki keseimbangan.
“Kayu sentigi kerap kami gunakan untuk membuat gasing, karena mudah dibuat. Biasanya, orang tua kami mencarikan kayu tersebut saat melaut, lalu kami bentuk menjadi gasing dengan bentuk bulatan,” terang Ronald, Minggu (2/12/2018).
Permainan gasing, kata Ronald, dimainkan dengan cara memutar gasing kayu yang sudah diberi pasak, berupa besi pada bagian bawah. Proses memutar gasing dilakukan menggunakan bekas tali kapal yang mudah diperoleh di perkampungan nelayan pesisir timur Lamsel.
Bekas tali kapal yang halus tersebut dipintal menjadi tali yang dikenal dengan uwer, untuk memutar gasing. Anak-anak yang belum mengetahui cara bermain gasing, biasanya akan diajari proses membuat hingga memainkan.
Mudahnya pembuatan gasing kayu membuat sebagian anak di desa tersebut, bisa membuatnya. Berbekal golok, pisau dan gergaji, gasing kayu bisa dibuat dengan ketelitian sesuai bentuk yang disukai.
Setelah gasing selesai dibuat secara manual, tahap mencoba memutar gasing kerap dilakukan di halaman yang luas. Pemutaran gasing menjadi cara untuk menguji ketahanan berputar, sekaligus kekuatan saat diadu dengan gasing lawan.
“Gasing kayu yang dibuat dihaluskan dengan memakai amplas atau kerap menggunakan pecahan kaca,” terang Ronald.
Anak-anak di pesisir tersebut, kata Ronald, memiliki aturan khusus untuk bermain gasing. Di wilayah tersebut, anak-anak umumnya membuat gasing dalam ukuran kecil hingga besar, sebagai sebuah kebanggaan. Selain itu, gasing dimainkan untuk adu waktu lama berputar, adu kekuatan gasing serta variasi gerakan gasing sebagai atraksi.
Memainkan gasing untuk mendapat kemenangan waktu lama berputar disebut “umbar”. Memainkan gasing untuk mengadu kekuatan gasing disebut “terak”, dan memainkan gasing untuk atraksi disebut “ngerepet”.
Berbagai ukuran gasing yang dibuat oleh anak-anak pesisir Desa Ketapang, Kecamatan Ketapang, Lampung Selatan. umumnya memakai kayu sentigi, sawo dan akasia -Foto: Henk Widi
Ronald mengatakan, atraksi umbar dimainkan secara bersama oleh empat hingga lima anak. Gasing diputar dengan tali uwer secara bersamaan di halaman yang luas, dan pemenang adalah pemilik gasing paling lama berputar.
Adu kekuatan gasing atau terak dilakukan dengan meletakkan gasing lawan pada tanah, gasing yang bertindak sebagai pemukul akan dimainkan. Kekuatan gasing bisa terlihat saat gasing lawan tetap bertahan, meski dihantam putaran gasing. Sebagian gasing bahkan bisa pecah, jika terhantam oleh putaran serta lemparan gasing lawan.
“Bentuk ketiga memainkan gasing dikenal dengan ngerepet atau atraksi, biasanya memutar dengan bergerak miring di tanah atau memutar di telapak tangan,” beber Ronald.
Ivan, salah satu anak yang duduk di kelas 6 SD, menyebut adu gasing atau terak paling kerap dimainkan. Permainan gasing disebutnya masih dimainkan dalam kelompok-kelompok kecil anak di desa tersebut.
Meski demikian, munculnya permainan gasing kerap menjadikan anak-anak di desa tersebut menjaga kebersamaan. Permainan gasing, bahkan kerap bisa dimainkan sembari membantu orang tua yang bekerja sebagai nelayan.
Ketika sejumlah nelayan mendarat dengan tangkapan ikan, anak-anak bisa membantu melepas ikan dari jaring yang dikenal dengan ngegibrik.
Seusai membantu orang tua, Ivan bersama kawan-kawannya akan bermain gasing di dekat pantai. Bermain gasing menjadi pengisi waktu liburan, dengan alat sederhana yang mudah diperoleh dan murah tanpa harus membeli.
“Saat bermain harus berhati-hati dengan menjaga jarak serta memperhatikan posisi kawan, agar tidak terkena lemparan saat gasing diputar,” tegas Ivan.
Hasan, salah satu orang tua anak yang bermain gasing kayu, mengaku memberi keleluasaan anaknya bermain. Ia menyebut, permainan tradisonal gasing justru membuat anak tidak kecanduan bermain gawai.
Bersosialisasi bersama kawan di dekat tempat pelelangan ikan, juga membuat anak-anak masih tetap bisa membantu orang tua. Ia juga mendukung anak-anak yang masih melestarikan permainan tradisonal serta mengasah kreativitas, dibanding mainan modern yang harus dibeli.
Lihat juga...