Kampanye Hitam Turunkan Kualitas Demokrasi
JAKARTA – Pelaksanaan pemilu serentak pada tahun ini tinggal kurang lebih 100 hari lagi. Mendekati hari H, 17 April 2019, kondisi politik kian memanas sejak hari pertama kampanye, 23 September 2018.
Masing-masing kandidat beserta para pendukungnya saling serang dan mencari kelemahan satu sama lain. Tidak pelak lagi, ada dampak negatif yang ditimbulkan pada tahun politik ini, misalnya di media massa (media mainstream) dan media sosial banyak dibanjiri berbagai macam postingan tentang politik disertai komentar-komentar tajam dan pedas.
Meskipun dalam politik hal itu lumrah terjadi, namun jika dilakukan secara tidak sehat, bisa menyebabkan disintegrasi bangsa. Seperti menyebar berita bohong (hoaks), fitnah, kampanye hitam, pemanfaatan isu SARA, dan lain-lain.
Bahkan, istilah “berita palsu” menjadi jargon dalam nomenklatur politik dewasa ini di seluruh dunia. Di Indonesia, ada kekhawatiran besar soal maraknya hoaks setelah Pemilu 2014, dan berlanjut pada Pemilu 2019 yang disebarkan di media sosial, bahkan media arus utama.
Ketika orang Indonesia makin sering memanfaatkan media sosial sebagai asupan berita harian, partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan berusaha memperluas pengaruh lewat panggung digital. Ini tentu suatu keniscayaan dan bukan hal mengejutkan lagi.
Seperti halnya negeri-negeri Asia Tenggara lainnya, keterlibatan parpol dan kelompok kepentingan dalam diskursus media sosial di Indonesia mulai mengadopsi ungkapan-ungkapan perang, media sosial telah “dipersenjatai” oleh “pasukan online” (online armies) atau “pasukan siber” (cyber troopers).
Kenyataannya, studi berlingkup global oleh para peneliti tentang internet telah mengidentifikasi gelombang pasang bot dan akun-akun medsos palsu yang sengaja dibuat dan dipakai untuk menyebarkan disinformasi.