Aturan Melawan LGBT di Sumbar tak Melanggar HAM

Editor: Satmoko Budi Santoso

“Katakanlah kalau saya mengedukasi anak saya supaya beragama, dimana salahnya. Berbeda kalau saya pukul anak saya karena anak saya tidak pakai jilbab, itu yang melanggar,” bebernya.

Ahmad Taufan mengakui, banyak aktivis di luar Sumatera Barat yang memaparkan pandangan bahwa yang dilakukan Pemprov Sumatera Barat negatif. Hal itu terjadi karena orang dari luar Sumatera Barat belum memahami perspektif HAM dari Minangkabau yang sesuai dengan norma dan adatnya.

Akhirnya yang terjadi adalah monopoli perspektif saja. Apalagi kalau perspektif HAM internasional dipaksakan untuk diberlakukan juga di Sumatera Barat, itu tidak mungkin. Dia berkata, daerah di Indonesia ini punya keberagaman. Biarkan perspektif itu berbeda-beda, yang penting kekerasan dan diskriminasi tidak terjadi.

Menurutnya, dengan kondisi saat ini, tokoh-tokoh Sumatera Barat harus ikut menyampaikan pendapat dan perspektif HAM yang sesuai dengan norma adat juga, supaya Sumatera Barat tidak ditekan oleh satu perspektif dari luar saja.

“Kita melihat ke Provinsi Aceh yang tegak dengan syariatnya. Bali punya polisi adat. Itu semua disesuaikan dengan norma di daerah bersangkutan,” ujarnya.

Untuk itu, Komnas HAM menilai, tokoh-tokoh di Sumatera Barat harus menyatukan perspektif untuk disampaikan secara nasional agar didengar juga oleh aktivis yang ada di Jakarta.

Artinya, dengan adanya pergerakan itu, semua masyarakat tidak hanya di Sumatera Barat, bisa memahami bahwa LGBT itu adalah perbuatan yang tidak benar dan bertentangan dengan agama Islam, dan perilaku penyimpangan sosial.

Sementara itu, Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit, mengatakan, di Sumatera Barat melarang keras adanya LGBT. Memang tidak dapat dipungkiri cukup banyak LGBT di Sumatera Barat,  ada hasil survei yang menyebutkan, LGBT di Sumatera Barat mencapai ribuan orang. Masyarakat di Minangkabau telah ikut menyatakan bahwa melawan adanya LGBT tersebut.

Lihat juga...