Akademisi: Keringanan Cukai Untuk Pabrik Rokok Kecil
JAKARTA – Akademisi dan peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, menyatakan struktur cukai rokok di Indonesia yang rumit membuat selisih harga rokok lebar di dalam negeri.
“Ini membuat konsumsi rokok terus meningkat,” kata Abdillah, dalam keterangan yang diterima, Senin (4/3/2019).
Saat ini, kata Abdillah, besaran tarif cukai yang dikenakan kepada pabrikan Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM), ditentukan dari volume produksinya.
Dia mencontohkan, pabrikan yang memproduksi 3 miliar batang rokok per tahun dikenakan tarif cukai yang lebih tinggi ketimbang pabrikan dengan volume 2,9 miliar batang.
Menurut Abdillah, keringanan cukai seharusnya diberikan kepada pabrikan rokok kecil saja, dan pabrikan rokok besar dengan produksi di atas 3 miliar batang tidak seharusnya menikmati cukai rendah.
“Pabrikan yang memproduksi rokok 2,99 miliar batang menerima keringanan cukai lebih murah. Jika dihitung per batang, mungkin lebih rendah Rp50, tapi coba kalau dikalikan 3 miliar batang? Itu tidak ada rasionalitas. Jadi kebijakan itu tidak efisien dan memang harus disederhanakan,” tegas Abdillah.
Untuk itu, Abdillah meminta pemerintah tidak melindungi pabrikan SKM dan SPM yang mampu memproduksi 3 miliar batang rokok, karena mereka tergolong pabrikan besar dengan omzet triliunan setiap tahunnya.
“Kalau harga rokok Rp500 dikalikan 3 miliar batang, itu omzetnya Rp1,5 triliun per tahun. Industri kecil itu omzetnya cuma Rp5 miliar. Jadi cukai yang lebih murah untuk produksi yang di bawah 20 juta batang, bukan 3 miliar batang,” katanya.
Dalam PMK 146/2017, dijabarkan rencana optimalisasi struktur cukai beserta ketentuan untuk menggabungkan batas produksi SKM dan SPM, bila diproduksi oleh perusahaan yang sama.