Kang Bejo
CERPEN MARWANTO
Setelah terjadi pembicaraan “baik-baik”, beberapa hari kemudian Kang Bejo mendapat selembar ijazah dari SMA Karangrejo. Meski telah menggondol ijazah sebagai syarat mendaftar caleg, Kang Bejo tak menunjukkan muka yang sumringah. Ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya.
“Aku tiba-tiba ingat kakek, Mak.”
“Kang, Kang, zaman sekarang kalau tidak begini ya tak bakalan kebagian. Kalau sudah melangkah, mbok jangan punya pikiran untuk mundur!”
Berhari-hari Kang Bejo menimbang nasehat istrinya. Dan benar, ia tidak akan mundur. Tapi masalah tidak berhenti sampai di sini. Persoalan berikut lebih pelik, yakni soal koneksi.
Memang, sebagai penjual burung Kang Bejo banyak kenalan. Tapi kenalan itu sebatas antara penjual dan pembeli. Pendeknya, Kang Bejo tak punya cantolan orang politik. Apalagi untuk parpol besar. Tapi, lagi-lagi, ia ingat nasehat istrinya.
Asal ada tekad dan usaha. Dua kata ini mengingatkan Kang Bejo pada Pak Kamto, distributor makanan burung di pasar kabupaten. Sejak muda Pak Kamto murni orang swasta. Tapi ia senang bicara masalah politik. Di suatu sore, Kang Bejo iseng bertamu ke rumah Pak Kamto.
“Kok tiba-tiba ngomong politik, Jo?”
“Ah, cuma iseng kok Pak. Kan sekarang lagi musimnya. Siapa tahu dari Bapak ada kabar menarik.”
“Yah, perkembangan politik sekarang luar biasa. Banyak partai berdiri. Itu namanya demokrasi sedang bergulir. Aku sendiri sedang ditawari jadi pengurus partai untuk tingkat kabupaten. Ya, meski cuma partai gurem tapi prospeknya bagus lho, Jo.
Kalau kamu mau, Kecamatan Karangmanis kan belum ada pengurusnya. Sekalian kamu nanti bisa jadi caleg untuk daerah pemilihan di situ.”