Perempuan Rawan Alami Kekerasan dan Ketidakadilan
Editor: Mahadeva
Habibah menyebut, KDRT lebih dikarenakan stigma masyarakat yang menganggap sebagai aib rumah tangga. Sehingga banyak yang memilih untuk tidak menyuarakan dengan alasan untuk menjaga kehormatan keluarga.
Ketua WCC Dian Mutiara, Sri Wahyuningsih, SH. Mpd., menyebut, selama 2018, WCC Dian Mutiara mendapatkan pengaduan sekira 85 aduan. Dimana 40 diantaranya adalah kasus anak, termasuk kasus pembuangan bayi. Sisanya adalah kasus kekerasan terhadap perempuan. “Peringkat pertama Kekerasan seksual dan yang kedua adalah KDRT,” ungkapnya.
Wahyu mencatat, kekerasan seksual juga sering dilaporkan terjadi pada saat pacaran. Malang sebagai Kota Pendidikan, seharusnya bisa memberikan jaminan keamanan kepada mereka yang menuntut ilmu di Malang.
Jika kasus-kasus kekerasan seksual bisa diselesaikan secara tuntas, akan menjadikan masyarakat percaya kepada elit politik dan penegakan hukum. “Tapi kalau tidak dituntaskan, maka masyarakat akan terus ragu-ragu,” tuturnya.
Konsultan kesehatan WCC, Dr. dr. Retty Ratnawati, menyampaikan, penanganan korban kekerasan fisik maupun psikis, orang akan melihat pada kondisi fisiknya. Namun setelah penanganan kondisi fisik, kebanyakan orang kemudian tidak memperhatikan efek dari peristiwa yang terjadi, Sementara trauma yang terjadi, tidak akan pernah hilang secara sikologis.
“Bahkan lama-lama korban bisa menderita Post Traumatic Stress Disorder ( Ptsd). Secara fisik memang tidak kelihatan, tapi akan terus dirasakan dalam jangka waktu yang lama,” terangnya.
Banyak orang yang tidak paham, bahwa trauma psikologis selama hidup akan terus dirasakan. Oleh karena itu terkait kekerasan, seharusnya tidak hanya dilihat dari segi fisik saja, tetapi juga dilihat secara dampak keseluruhan bagaimana terhadap korban.